Senin, 31 Maret 2008

Mengapa Pertempuran 10 November 1945 Terjadi?

Pada 9 Maret 1942, Pemerintah India-Belanda (Nederlands-Indiƫ) di Kalijati dekat
Subang, Jawa Barat, menandatangai dokumen Menyerah Tanpa Syarat (Unconditional
Surrender) kepada balatentara Dai Nippon. Letnan Jenderal Hein Ter Poorten,
Panglima Tertinggi tentara India-Belanda mewakili Gubernur Jenderal Jonkheer
Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer di pihak Belanda dan Jepang diwakili oleh
Jenderal Hitoshi Imamura, Panglima Tentara 16. Tentara Belanda secara sangat
pengecut menyerah kepada tentara Jepang dan telah menyerahkan seluruh wilayah,
termasuk rakyat jajahannya kepada penguasa baru yang tidak kalah kejam dan
rakusnya. Dengan demikian, Belanda telah kehilangan segala legitimasinya atas
wilayah bekas jajahannya.

Setelah Jepang menyerah –juga Tanpa Syarat- kepada sekutu pada 15 Agustus 1945,
tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pernyataan
kemerdekaan ini jelas bukan merupakan suatu pemberontakan terhadap siapapun, baik
kepada Belanda, maupun kepada Jepang.

Sebagaimana diketahui, teks proklamasi disusun pada 16 Agustus 1945, malam hari,
di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, dengan sepengetahuan Mayor Jenderal Otoshi
Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang di Jawa. Dan
setelah proklamasi kemerdekaan tersebut, Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto,
Gunseikan (Kepala Pemerintahan) di Jakarta, juga tidak mengambil tindakan apapun
terhadap Republik Indonesia.

Sebaliknya, sejak saat itu, dan mencapai puncaknya pada bulan September 1945, di
seluruh Indonesia, rakyat mulai mengambil alih pemerintahan sipil dan melucuti
tentara Jepang, bahkan di beberapa daerah merampas senjata-senjata dari Jepang
melalui pertempuran sengit, yang menimbulkan korban besar di kedua belah pihak,
seperti halnya yang terjadi di Surabaya.

Senjata yang direbut dari tentara Jepang di Surabaya dan sekitarnya sedemikian
banyak, dan dapat mempersenjatai sekitar 20.000 – 30.000 orang, dari mulai pistol,
sampai senjata berat seperti meriam dan tank. Bahkan dapat mengirim senapan
sebanyak 4 gerbong kereta api ke Jakarta dan 2 gerbong ke Yogyakarta.

Untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan interniran Eropa dan memulihkan
keamanan di wilayah bekas pendudukan Jepang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
tentara Sekutu (Allied Forces) menugaskan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten,
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Asia Tenggara (Supreme Commander South East
Asia Command).

Untuk tugas ini, Mountbatten mengerahkan 3 Divisi (British-Indian Divisions) dan
dibantu oleh 2 Divisi Australia di bawah Jenderal Morsehead.

Namun, selain tugas dari Allied Forces tersebut, ada agenda tersembunyi yang
dilakukan oleh tentara Inggris dan Australia, yaitu membantu Belanda memperoleh
kembali jajahannya, sesuai dengan perjanjian antara Inggris dan Belanda di
Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945, yang dinamakan Civil Affairs
Agreement, di mana disepakati, bahwa tentara Inggris akan membersihkan kekuatan
bersenjata Republik Indonesia, dan menyerahkan daerah yang telah “dibersihkan”
kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Karena berbagai kendala dan keterbatasan yang mereka miliki, kapal perang Inggris
pertama, HMS Cumberland, baru tiba tanggal 15 September 1945 di Jakarta. Ikut
dengan kapal ini adalah Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur
zaman penjajahan India-Belanda.

Sedangkan di Surabaya, pasukan Inggris, Brigade 49 dari Divisi 23, baru tiba pada
25 Oktober 1945, lebih dari 2 bulan setelah pernyataan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Sementara itu di Surabaya bangsa Indonesia telah mengambil alih, bukan
saja pemerintahan sipil, melainkan juga di bidang kemiliteran dan kepolisian.
Seluruh tentara Jepang telah dilucuti dan diinternir oleh tentara dan
laskar-laskar pemuda Indonesia.

Brigade 49 dari 23rd British-Indian Division berkekuatan sekitar 5.000 personal di
bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby, segera
bermaksud melucuti senjata yang dimiliki rakyat di Surabaya dan sekitarnya, namun
sudah tentu mendapat tentangan keras dari para pemimpin Republik Indonesia di
Surabaya.

Setelah melihat kekuatan yang dihadapinya, pada 26 Oktober 1945, Mallaby mengalah
dan menandatangani persetujuan dengan Gubernur Jawa Timur, Suryo, bahwa yang
dilucuti hanya tentara Jepang, dan tentara Republik Indonesia tidak dilucuti.

Namun terjadi kesalahan komunikasi antara pimpinan tertinggi tentara Inggris. Di
Jakarta, mereka memutuskan, bahwa seluruh persenjataan yang berada di tangan orang
Indonesia, harus diserahkan kepada tentara sekutu, juga di Surabaya. Pada 27
Oktober 1945 pukul 11.00, satu pesawat Dakota yang langsung datang dari Jakarta,
menyebarkan pamflet di aras Surabaya dan sekitarnya, yang berisi seruan, agar
seluruh senjata harus diserahkan kepada tentara sekutu dalam waktu 2 x 24 jam, dan
setelah itu “ BARANG SIAPA YANG DIJUMPAI DI JALAN MEMBAWA SENJATA,
AKAN DITEMBAK DITEMPAT.”

Dikabarkan, bahwa Brigadir Jenderal Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet
tersebut, namun sebagai seorang serdadu, harus melaksanakan perintah atasan.
Tentara Inggris mulai melakukan razzia senjata. Hal ini tentu membuat gusar
pimpinan Republik Indonesia di Surabaya, karena mereka menilai, bahwa Inggris
melanggar kesepakatan yang ditandatangani satu hari sebelumnya, pada 26 Oktober
1945.

Pada sore hari tanggal 27 Oktober 1945, secara kilat dilakukan rapat pimpinan
militer tertinggi di Surabaya. Pertimbangan yang diambil adalah, apabila mereka
menyerahkan senjata kepada sekutu, tentara Republik Indonesia akan menjadi macan
ompong, alias tidak mempunyai kekuatan untuk mempertahan kemerdekaan dan
kedaulatan, sedangkan apabila tidak menyerahkan senjata, mereka akan ditembak di
tempat. Selain itu, sudah sejak awal pimpinan Republik mencurigai, bahwa tentara
Inggris dan Australia membantu Belanda untuk menjajah kembali Indonesia, yang
kemudian dugaan ini ternyata benar.

Dalam pertimbangan yang dilakukan, dikemukakan, bahwa pihak Republik mengetahui
berapa kekuatan tentara Inggris, dan di mana mereka berada, yaitu di 8 pos
pertahanan yang tersebar di Surabaya, sedangkan pihak Inggris tidak mengetahui
berapa kekuatan bersenjata Republik.

Dengan berpatokan pada gagasan Jenderal Prusia, Carl von Clausewitz, bahwa
“Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik),
maka diputuskan untuk: MENYERANG TENTARA INGGRIS. Malam itu juga disebarkan
keseluruh pasukan serta laskar-laskar pemuda di Surabaya dan sekitarnya (Sidoarjo,
Gresik, Mojokerto dsb.) mengenai keputusan tersebut.

Dan malam itu juga, seluruh kekuatan rakyat bersenjata yang ada di sekitar
Surabaya, berdatangan untuk ikut ambil bagian dalam penyerangan tersebut.

Pagi hari tanggal 28 Oktober 1945 mulai pukul 04.30, serangan dilakukan terhadap 8
pos pertahanan Inggris di Surabaya.Tercatat sekitar 60 pasukan yang ikut ambil
bagian dalam pertempuran bulan Oktober di Surabaya, a.l. TKR Sidoarjo, Pasukan
Sadeli Sastrawijaya dari Bandung, Pasukan TKR Mojokerto, TKR Laut, TKR Udara,
PasukanMagenda dari Bondowoso, Pasukan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi),
Pasukan Kalimantan, Pasukan Sriwijaya (yang seluruhnya terdiri pemuda-pemuda asal
Sumatera Utara dan Aceh, mantan pasukan Gyugun yang mempunyai pengalaman tempur
melawan tentara sekutu di Morotai), para Kiyai dari Banten dll.. Boleh dikatakan
seluruh suku bangsa Indonesia diwakili oleh para pemudanya di Surabaya dalam
pertempuran mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan pada 17 Agustus
1945. Juga pemuda-pemuda Ambon dan Papua banyak yang bertempur di pihak Republik,
dan bahkan ada juga yang dari pulau Rote.

Bila dihitung, tepat TUJUHBELAS TAHUN setelah Sumpah Pemuda di Jakarta pada 28
Oktober 1928, pemuda Indonesia di Surabaya mewujudkan semangat tersebut dalam
bentuk fisik yang sangat heroik. Apakah hal ini hanya suatu kebetulan? Ataukah
memang ini suatu bentuk predestinasi (telah ditentukan sebelumnya)?

Selain sekitar 20.000 – 30.000 rakyat yang bersenjata, ikut mengambil bagian dalam
pertempuran tersebut sekitar 100.000 pemuda yang menyerbu hanya dengan clurit,
bambu runcing, tombak dll. Inilah awalnya bonek (bondo nekat-modal nekat) yang
sangat positif bagi perjuangan bangsa Indonesia.

Tentara Inggris yang menduga hanya akan melakukan tugas adminstratif, tidak siap
dengan logistik dan paramedis untuk suatu petempuran. Setelah digempur satu hari
penuh hingga malam hari, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak
kuat menahan gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Mereka mengirim berita ke
Jakarta kepada Panglima tertinggi Tentara Inggris, Letnan Jenderal Sir Philip
Christison, untuk meminta bantuan Presiden Sukarno. Seorang perwira Inggris,
Kolonel A.J.F. Doulton: ”The Heroic resistance of the British troops could only
end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the
passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on
the influence of Sukarno.”

Malam itu juga, Presiden Sukarno yang sudah tidur, dibangunkan dan diminta untuk
datang ke Surabaya untuk menolong tentara Inggris yang berada di ambang kepunahan.

Sementara itu, pertempuran di Surabaya berlangsung terus dengan sengitnya. Blokade
total dilakukan atas pos-pos pertahanan Inggris. Saluran air dan listrik
dimatikan. Bantuan logistik yang didrop melalui udara oleh pesawat terbang Inggris
tidak tepat jatuh di pos tentara Ingris, dan jatuh ketangan pemuda Indonesia.
Akhirnya, pada 29 Oktober 1945 pagi hari, di dua tempat, antara lain di kompleks
Darmo, yang menjadi satu pos pertahanan Inggris, tentara Inggris mengibarkan
BENDERA PUTIH: MENYERAH. Kolonel dr. Wiliater Hutagalung menerima Kapten Flower
yang berkebangsaan Australia untuk berunding.

Dapat dibayangkan, bagaimana malunya tentara Inggris, sebagai salah satu PEMENANG
PERANG DUNIA II, setelah digempur satu hari-satu malam oleh rakyat Indonesia di
Surabaya, dipaksa mengibarkan BENDERA PUTIH.

Presiden Sukarno bersama Wakil Presiden Hatta dan Menteri Penrangan Amir
Syarifuddin Harahap tiba tanggal 29 Oktober 1945 siang hari, dan segera melakukan
perundingan dengan Brigadir Jenderal Mallaby. Pada hari itu ditandatangani
persetujuan gencatan senjata yang dinamakan:

“Armistic Agreement regarding the Surabaya Incident; a provisional agreement
between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby,
concluded on the 29th October 1945.”

Dengan demikian, walau pun karena kepepet, tentara Inggris terpaksa mengakui
Sukarno sebagai THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC INDONESIA.

Keesokan harinya, pada 30 Oktober 1945 siang hari, Presiden sukarno menandatangani
persetujuan dengan Panglima Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn.
Setelah itu, mereka segera kembali ke Jakarta.

Sore hari, dalam rangka penyebarluasan kesepakatan Soekarno-Hawthorn, timbul
insiden tembak-menembak di pos pertahanan Ingris di Gedung Internatio, dekat
Jembatan Merah. Insiden itu dipicu oleh tembakan yang dimulai oleh tentara
Inggris, sebagaimana diakui oleh komandan Kompi D, Mayor Venu K. Gopal, yang
bertahan di Gedung Internatio. Pengakuan itu ditulis pada 8 Agustus 1974 kepada
penulis Australia, J.G.A. Parrot, yang menulis buku “Who killed Brigadier
Mallaby?”

Dalam tembak-menembak tersebut (cross fire), Mallaby, komandan Brigade 49,
kemudian ditemukan tewas. Pihak Inggris menyalahkan Indonesia atas tewasnya
Mallaby, namun dalam rekonstruksi, kemungkinan besar Mallaby tewas karena granat
yang dilemparkan oleh Kapten R.C. Smith. Pelemparan granat yang mengakibatkan
terbakarnya mobil yang ditumpangi Mallaby diakui oleh Smith dalam surat-suratnya
kepada J.G.A. Parrot, a.l. pada 23 November 1973 dan 20 Februari 1974.

Tuduhan Panglima tertinggi Tentara Inggris, Letnan Jenderal Christison dan
Panglima Divisi 23 Mayor Jenderal Mansergh tanggal 31 Oktober dan 9 November 1945
telah dibantah oleh Tom Driberg, anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh,
sebagaimana disampaikannya dalam sidang parlemen Inggris tanggal 20 Februari 1946,
bedasarkan keterangan yang diperolehnya dari Kapten Shaw, mantan ajudan Brigadir
Jenderal Mallaby.

Namun sejarah mencatat, bahwa tentara Inggris tetap melancarkan agresi militer
mereka, terbesar setelah Perang Dunia II, dengan mengerahkan sekitar 30.000
tentara, a.l. 20.000 dari Divisi 5, yang ikut mengalahkan pasukan Jerman di bawah
Marsekal Erwin Rommel yang legendaris di El alamein, Mesir, dan dengan
persenjataan termutakhir yang mereka miliki.

Akibatnya: Lebih dari 20.000 rakyat Surabaya –sebagian besar adalah sipil,
termasuk wanita dan anak-anak- tewas dalam agresi militer tersebut, dan hampir
seluruh kota Surabaya hancur, terutama bagian selatan.

Sementara itu, di wilayah timuer Indonesia, tentara Australia “membersihkan”
kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan setelah dibersihkan, pada 13 Juli
1946, secara resmi seluruh wilayah Indonesia Timur diserahkan kepada Netherlands
Indies Civil Administration (NICA), dan Belanda tidak membuang-buang waktu. Pada
16 – 22 Juli 1946, mereka menggelar yang dinamakan “Konferensi Malino”, di Malino.
Sulawesi Selatan, yang menjadi cikal bakal pembentukan Negara Indonesia Timur dan
Negara-Negara Boneka lain bentukan Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia.

Demikian ringkasan kilas balik sejarah, untuk memberikan informasi mengenai
peristiwa heroik PEMUDA INDONESIA PADA 28 OKTOBER 1945 DI SURABAYA, yang juga
patut mendapat perhatian dan penghargaan.

(Ringkasan ini dikutip dari : “10 November 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?”
tulisan Batara R. Hutagalung. Penerbit: Millenium Publisher. )


source : http://befo.blogs.friendster.com/fery/2007/12/mengapa_pertemp.html

Tidak ada komentar: