Benny Moerdani
Wajah Ganda Seorang Prajurit Komando
BANDARA Halim Perdanakusuma, Jakarta, 31 Maret 1981. Pesawat DC 10 Garuda
mendarat, membawa pulang pasukan antiteror Kopasandha (kini Kopassus).
Pasukan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sintong Panjaitan itu baru saja
membebaskan para sandera serta menewaskan kelima pembajak di Bandara Don
Muang, Bangkok, Thailand.
RATUSAN orang bersorak-sorai menyambut kedatangan mereka, meluber sampai ke
tepi landasan pacu. Di tengah kesibukan upacara, Menteri Penerangan Ali
Moertopo bertanya kepada Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo, "Lho, Benny
ana ngendi, di mana dia?"
Tanpa ada yang memerhatikan, sewaktu penyambutan sedang riuh, Benny
menyelinap turun, lewat pintu di ekor pesawat, keluar dan naik taksi menuju
Cendana, melapor kepada Presiden Soeharto. "Lho, Ben kapan tekamu? (kapan
kau datang?)," tanya Ny Tien Soeharto kaget, melihat Benny tiba-tiba muncul
di ruang tamu.
Benny sering diistilahkan clingus, pemalu, tetapi dia memang tidak senang
upacara dan tetek bengek seremonial. Dengar komentar Ny Theresa Hartini,
istri yang dinikahinya sejak Desember 1964, "Ia tidak pernah mau bercerita
sedang mengerjakan apa, pergi ke mana, dengan siapa akan bertemu. Meskipun
demikian, yang membanggakan dari Bapak, dia selalu ngayomi, melindungi."
TOK-tok-tok, terdengar bunyi pintu diketuk, pada tengah malam buta. Tuan
rumah sambil membuka daun pintu bertanya, "Siapa...?"
Dor, pistol memuntahkan pelurunya. Peluru melesat, pemilik rumah langsung
tergeletak dan tewas. Sambil menimang pistol yang masih mengepul, tamu
tersebut menjawab, "... nama saya Benny."
Ketika lelucon dari Australia itu saya sampaikan kepada Pak Benny, demikian
setiap kali saya menyebut nama Jenderal (Purn) Leonardus Benyamin Moerdani
(1932-2004), tanpa ekspresi, dengan raut mukanya yang selalu dingin, dan
tanpa nada suara berubah, Benny mengatakan, "Ada-ada saja mereka."
Untuk para pengagumnya, dia dilukiskan sebagai prajurit pemberani, lugas,
efisien dalam bertindak, all out, bekerja tuntas, langsung bergerak setelah
menerima perintah dan yang dia yakini benar. Di sisi lain, menurut pandangan
lawannya, Benny adalah pembunuh berdarah dingin, tega menumpas habis semua
musuh, tanpa pertimbangan lain. Dengan prinsip: pukul dulu urusan belakang,
seperti kisah lelucon di atas tadi.
Kritik dan keluhan atas beragam tindakan dan langkah yang pernah dilakukan
Pak Benny tidak semuanya keliru. Pada saat akan menyerbu pesawat Garuda
Indonesia yang dibajak-di Bangkok itu-dia berkata, "Apa pun yang terjadi,
para pembajak harus dibunuh. Kemungkinan ada penumpang yang kena tembakan,
hal itu mungkin sudah suratan nasib. Mereka harus kita beri uang duka dan
dimakamkan di taman pahlawan. Dengan pengorbanannya, mereka adalah
pahlawan."
Untung, tidak seorang penumpang pun jadi korban. Operasi pembebasan sandera
berhasil dengan gemilang, semua pembajak terbunuh. Korban yang kemudian
meninggal beberapa hari setelah kejadian, seorang anggota pasukan khusus dan
kapten pilot Garuda, penerbang pesawat naas itu.
Sintong Panjaitan melukiskan, "Pak Benny memang pemberani, tetapi Beliau
juga selalu campur tangan sampai ke detail pelaksanaan. Di Bangkok, Beliau
bersama pasukan ikut menyerbu ke kabin. Kalau sampai ada peluru nyasar,
Beliau kena, pasti saya yang bakal digantung."
Tidak bisa dilarang?
"Ah you kan tahu. Mana mungkin ada yang berani menentang keinginannya," kata
Sintong.
BERANI bertindak tegas kalau merasa benar, meski dia juga sadar bahwa
tindakannya bisa tidak populer dan mungkin akan merugikan citra pribadinya,
tidak pernah dia hiraukan. Tentang peristiwa di Bangkok, dia menjawab,
"Tugas seorang pemimpin bersama anak buah. Bagaimana mungkin saya diam saja,
sementara para prajurit menyabung nyawa, berkorban membela kehormatan bangsa
dan negara?"
Kebersamaan dengan anak buah salah satu ciri keteladanan Pak Benny. Anak
buah yang sudah bersama-sama ikut bertempur bersama dirinya, sejak terjun
dari udara di Pekanbaru sampai mendarat pakai sampan di Wori, Sulawesi
Utara. Mulai pertempuran kota di Medan (Sumatera Utara) hingga perang
gerilya di tengah belukar Merauke (Papua) dan hutan di Sarawak (Malaysia).
Kebersamaan tersebut tidak pernah terputus, khususnya kepada anak dan
keluarga anak buahnya yang gugur dalam penugasan. Mereka tetap memperoleh
simpati dan empatinya secara pribadi, berikut santunan serta bimbingan.
Abdurrahman Wahid yang akrab dengan sebutan Gus Dur adalah salah seorang
teman dekat Pak Benny meski datang dari spektrum serta latar belakang
berbeda dan kebetulan mereka sama-sama senang membaca. Di tengah kesibukan
masing-masing, dulu mereka sering bertemu berjam-jam hanya untuk membahas
novel- novel spionase, semisal karya John Le Carre, Frederick Forsythe, dan
Len Deighton.
Tentang sosok Pak Benny, Gus Dur menilai dia punya integritas politik lentur
tetapi utuh serta wajah ganda sisi, multifaceted, dari kepribadiannya. Hal
tersebut menampakkan bagian integral dari kehidupannya sebagai anak manusia
sekaligus sosok militer. Bahwa kalaupun kemudian dia hanya berangkat dari
kehidupan militer, Pak Benny memiliki cakrawala pandangan luas dan
menyeluruh. . Sebagai perwira intelijen, dia selalu dituntut mengetahui
banyak hal dan menguasai banyak masalah, terutama latar belakang seorang
yang diajaknya bicara.
Meskipun bisa dekat dan mengaku banyak segi positif yang bisa dipetik dari
Pak Benny-dalam lingkungan militer dan juga dalam penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya pada dasawarsa 1980-an-Gus Dur mengaku nuraninya
tetap terusik ketika Pak Benny melaksanakan pembersihan para eks residivis
lewat kebijakan penembakan misterius.
Sebagai seseorang yang selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia, Gus Dur
tidak bisa menerima kebijakan tersebut sebagai keharusan. Dalam
pandangannya, mereka yang telah menjalani hukuman, betapa tidak
proporsionalnya hukuman yang dijatuhkan, tetap tidak bisa dihukum untuk
kedua kalinya, tanpa pengadilan ulang dan pengadilan lanjutan.
LAHIR di Cepu pada 2 Oktober 1932, garis keturunan Pak Benny perpaduan dua
latar belakang. Ayahnya, Raden Bagus Moerdani Sosrodirdjo, keturunan Kiai
Suleman, pengajar agama Islam dari Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Ibunya, Jeanne Roech, keturunan Jerman.
Tanggal kelahiran Pak Benny berlambang rasi Libra, gambar timbangan. Tentang
ini dia menyebutkan, "Pemilik rasi Libra bukan timbangan statis. Orang Libra
selalu diam, tidak pernah menunjukkan emosi. Kalau menangis tidak berteriak,
hanya keluar air mata. Kalau marah, tidak terlihat di wajah, tetapi dalam
hati."
Dalam penanggalan China, hari kelahirannya bernaung dalam shio monyet.
Menurut Pak Benny, ".... Monyet itu merengut atau tertawa, raut wajahnya
selalu sama."
Dalam penampilan selalu misterius sekaligus otomatis menebarkan citra
membingungkan untuk diamati, sulit sekali menjawab pertanyaan siapakah
Benny.
Sebagai perwira TNI yang mengabdikan dirinya hampir selama 40 tahun dalam
kehidupan militer, di mana sebagian besar dia jalani dalam dunia intelijen
yang sudah jelas tidak akan pernah bisa transparan, sampai kapan pun jejak
kehidupannya akan selalu diselimuti misteri.
Pada kunjungan pertama ke Jakarta, Paul Keating, waktu itu Perdana Menteri
Australia, datang ke Markas Besar ABRI. Selama hampir dua jam Keating
menjelaskan panjang lebar kebijakan luar negeri Australia, khususnya ke
negara tetangga terdekatnya, Indonesia.
Tiba-tiba Pak Benny mengacungkan tangan sambil berkata, "Wow, ternyata kita
berdua punya persamaan...."
Mata Keating langsung berbinar mendengar komentar tersebut. Tetapi belum
sempat senyuman menghiasi wajahnya, Pak Benny melanjutkan, "Persamaannya,
istri kita sama-sama bekas pramugari."
Saya menyaksikan wajah Keating berubah luruh. Memang, tampak luar sosok Pak
Benny pendiam, serius, dan mahal senyum. Sangat berlawanan kalau dia dalam
lingkungan kecil dan di antara rekan dekat serta sahabatnya. Pak Benny
justru seorang pembicara hangat, memikat, serta sering melontarkan lelucon
cerdas yang selalu multitafsir.
Dengan pribadi sarat pertimbangan serta suasana kehidupan masyarakat majemuk
Indonesia, maka nama Pak Benny muncul sebagai mitos. Oleh karena mitos,
menjadi tidak relevan apakah anggapan dari luar tersebut benar atau tidak.
Apakah perkiraan terhadap jati dirinya benar atau salah.
Tidak bisa lain, sebab bayangan senantiasa lebih besar daripada kenyataan.
Apalagi untuk sosok Pak Benny, yang hanya dari namanya saja terasa sinonim
dengan dunia intelijen, penuh serba kemungkinan sekaligus ketidakpastian, di
mana antara bayang-bayang dan kelabu saling menutupi.
Kepergian Pak Benny merupakan kehilangan yang sangat, terutama bagi Tentara
Nasional Indonesia. Dialah salah satu prajurit terbaik yang pernah dimiliki
TNI. Salah satunya dicerminkan dari penghargaan Bintang Sakti, bintang
pengabdian tertinggi seorang prajurit yang disematkan langsung oleh Presiden
Soekarno. Sepantasnyalah apabila Markas Besar TNI memerintahkan semua markas
di jajaran TNI untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari
untuk menghormati kepergian almarhum.
Selamat Jalan Pak Benny.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar