Senin, 31 Maret 2008

SOICHIRO HONDA : "Lihat Kegagalan Saya"

Saat merintis bisnisnya Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan.
Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dikeluarkan dari kuliah.
Namun ia trus bermimpi dan bermimpi...
Cobalah amati kendaraan yang melintasi jalan raya.
Pasti, mata Anda selalu terbentur pada Honda, baik berupa mobil maupun
motor.

Merk kendaran ini menyesaki padatnya lalu lintas,
sehingga layak dijuluki "raja jalanan".
Namun, pernahkah Anda tahu, sang pendiri "kerajaan"
Honda - Soichiro Honda - diliputi kegagalan.

Ia juga tidak menyandang gelar insinyur, lebih-lebih
Profesor seperti halnya B.J. Habibie, mantan Presiden RI.
Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang.
Di kelas, duduknya tidak pernah di depan,
selalu menjauh dari pandangan guru. "Nilaiku jelek di sekolah.

Tapi saya tidak bersedih, karena dunia saya disekitar mesin, motor dan
sepeda," tutur tokoh ini, yang meninggal pada usia 84 tahun, setelah
dirawat di RS Juntendo, Tokyo, akibat mengindap lever.

Kecintaannya kepada mesin, mungkin 'warisan' dari
ayahnya yang membuka bengkel reparasi pertanian, di
dusun Kamyo, distrik Shizuko, Jepang Tengah, tempat
kelahiran Soichiro Honda.

Di bengkel, ayahnya memberi cathut (kakak tua) untuk mencabut paku.
Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi
melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya.
Di situ, lelaki kelahiran 17 November 1906, ini dapat berdiam diri
berjam-jam.

Di usia 8 tahun, ia mengayuh sepeda sejauh 10 mil,
hanya ingin menyaksikan pesawat terbang.
Ternyata, minatnya pada mesin, tidak sia-sia. Ketika
usianya 12 tahun, Honda berhasil menciptakan sebuah
sepeda pancal dengan model rem kaki. Tapi, benaknya
tidak bermimpi menjadi usahawan otomotif. Ia sadar
berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya
lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya rendah diri.

Di usia 15 tahun, Honda hijrah ke Jepang, bekerja
Hart Shokai Company. Bosnya, Saka Kibara, sangat
senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan
cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang
mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput
dari perhatiannya. Enam tahun bekerja disitu,
menambah wawasannya tentang permesinan. Akhirnya,
pada usia 21 tahun, bosnya mengusulkan membuka suatu
kantor cabang di Hamamatsu. Tawaran ini tidak ditampiknya.

Di Hamamatsu prestasi kerjanya tetap membaik. Ia
selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel
lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil pelanggan
sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya
larut malam, dan terkadang sampai subuh. Otak
jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari
mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik meredam
goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan
ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luar biasa.
Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh dunia.
Di usia 30, Honda menandatangani patennya yang pertama.

Setelah menciptakan ruji, Honda ingin melepaskan
diri dari bosnya, membuat usaha bengkel sendiri. Ia
mulai berpikir, spesialis apa yang dipilih? Otaknya
tertuju kepada pembuatan Ring Pinston, yang
dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada tahun 1938.
Sayang, karyanya itu ditolak oleh Toyota, karena
dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya
tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi
teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka
menyesalkan dirinya keluar dari bengkel.

Kuliah
Karena kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup
serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih
kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal
Ring Pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi
mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah
pengetahuannya tentang mesin. Siang hari, setelah
pulang kuliah - pagi hari, ia langsung ke bengkel,
mempraktekan pengetahuan yang baru diperoleh.
Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya
dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah.

"Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak
diberi makan, melainkan dijejali penjelasan
bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya,"
ujar Honda, yang gandrung balap mobil. Kepada
Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan
mencari ijasah. Melainkan pengetahuan.

Penjelasan ini justru dianggap penghinaan.

Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya
diterima. Pihak Toyota memberikan kontrak, sehingga
Honda berniat mendirikan pabrik. Eh malangnya,
niatan itu kandas. Jepang, karena siap perang, tidak
memberikan dana. Ia pun tidak kehabisan akal
mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk
mendirikan pabrik. Lagi-lagi musibah datang.
Setelah perang meletus, pabriknya terbakar dua kali.

Namun, Honda tidak patah semangat. Ia bergegas
mengumpulkan karyawannya.
Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol
yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, digunakan
sebagai bahan mendirikan pabrik. Tanpa diduga, gempa
bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga
diputuskan menjual pabrik Ring Pinstonnya ke Toyota.
Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain.
Sayang semuanya gagal. Akhirnya, tahun 1947, setelah
perang Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi
ekonomi Jepang porak-poranda.
Sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya
untuk membeli makanan bagi keluarganya.

Dalam keadaan terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa
sangka, "sepeda motor" - cikal bakal lahirnya mobil
Honda - itu diminati oleh para tetangga. Mereka
berbondong-bondong memesan, sehingga Honda kehabisan
stok. Disinilah, Honda kembali mendirikan pabrik
motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari
tangannya. Motor Honda berikut mobinya, menjadi
"raja" jalanan dunia, termasuk Indonesia.

Bagi Honda, janganlah melihat keberhasilan dalam
menggeluti industri otomotif. Tapi lihatlah
kegagalan-kegagalan yang dialaminya. "Orang melihat
kesuksesan saya hanya satu persen. Tapi, mereka
tidak melihat 99% kegagalan saya", tuturnya. Ia
memberikan petuah ketika Anda mengalami kegagalan,
yaitu mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru.

Kisah Honda ini, adalah contoh bahwa Suskes itu bisa
diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar
di sekolah, ataupun berasal dari keluarga miskin.

Abraham Lincoln

Di bawah ini ada sebuah daftar kegagalan dari orang yang semasa hidupnya mengalami banyak tantangan dan badai.

* 1831 - ia mengalami kebangkrutan dalam usahanya.
* 1832 - ia menderita kekalahan dalam pemilihan tingkat lokal.
* 1833 - ia kembali menderita kebangkrutan.
* 1835 - istrinya meninggal dunia.
* 1836 - ia menderita tekanan mental sedemikian rupa, sehingga hampir saja masuk rumah sakit jiwa.
* 1837 - ia menderita kekalahan dalam suatu kontes pidato.
* 1840 - ia gagal dalam pemilihan anggota senat Amerika Serikat.
* 1842 - ia menderita kekalahan untuk duduk di dalam kongres Amerika Serikat.
* 1848 - ia kalah lagi di konggres Amerika Serikat.
* 1855 - ia gagal lagi di senat Amerika Serikat.
* 1856 - ia kalah dalam pemilihan untuk menduduki kursi wakil presiden Amerika Serikat.
* 1858 - ia kalah lagi di senat Amerika Serikat.
* 1860 - ia akhirnya menjadi presiden Amerika Serikat.

Siapakah dia? Namanya ialah Abraham Lincoln.


Kalau orang lain yang mengalami demikian banyak kegagalan mungkin ia sudah mundur secara teratur. Tetapi Lincoln maju terus, kata mundur sama sekali tidak ada di otaknya. Akibatnya ia kemudian mencapai suatu sukses yang luar biasa.


Sukses berjalan dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain, tanpa kita kehilangan semangat. (Abraham Lincoln)

BILL GATES & PAUL ALLEN


Kisah Maestro Microsoft Bill Gates and Paul Allen
William Henry Gates III atau lebih terkenal dengan sebutan Bill Gates, lahir di Seatle, Washington pada tanggal 28 Oktober 1955. Ayah Bill, Bill Gates Jr., bekerja di sebuah firma hukum sebagai seorang pengacara dan ibunya, Mary, adalah seorang mantan guru. Bill adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Sejak kecil Bill mempunyai hobi “hiking”,bahkan hingga kini pun kegiatan ini masih sering dilakukannya bila ia sedang “berpikir”.

Bill kecil mampu dengan mudah melewati masa sekolah dasar dengan nilai sangat memuaskan, terutama dalam pelajaran IPA dan Matematika. Mengetahui hal ini orang tua Bill, kemudian menyekolahkannya di sebuah sekolah swasta yang terkenal dengan pembinaan akademik yang baik, bernama “LAKESIDE”. Pada saat itu , Lakeside baru saja membeli sebuah komputer, dan dalam waktu seminggu, Bill Gates, Paul Allen dan beberapa siswa lainnya (sebagian besar nantinya menjadi programmer pertama MICROSOFT) sudah menghabiskan semua jam pelajaran komputer untuk satu tahun.

Kemampuan komputer Bill Gates sudah diakui sejak dia masih bersekolah di Lakeside. Dimulai dengan meng”hack” komputer sekolah, mengubah jadwal, dan penempatan siswa. Tahun 1968, Bill Gates, Paul Allen, dan dua hackers lainnya disewa oleh Computer Center Corp. untuk menjadi tester sistem keamanan perusahaan tersebut. Sebagai balasan, mereka diberikan kebebasan untuk menggunakan komputer perusahaan. Menurut Bill saat itu lah mereka benar- benar dapat “memasuki” komputer. Dan disinilah mereka mulai mengembangkan kemampuan menuju pembentukan Microsoft, 7 tahun kemudian.

Selanjutnya kemampuan Bill Gates semakin terasah. Pembuatan program sistem pembayaran untuk Information Science Inc, merupakan bisnis pertamanya. Kemudian bersama Paul Ellen mendirikan perusahaan pertama mereka yang disebut Traf-O-Data. Mereka membuat sebuah komputer kecil yang mampu mengukur aliran lalu lintas. Bekerja sebagai debugger di perusahaan kontrkator pertahanan TRW, dan sebagai penanggungjawab komputerisasi jadwal sekolah, melengkapi pengalaman Bill Gates.

Musim gugur 1973, Bill Gates berangkat menuju Harvard University dan terdaftar sebagai siswa fakultas hukum. Bill mampu dengan baik mengikuti kuliah, namun sama seperti ketika di SMA, perhatiannya segera beralih ke komputer. Selama di Harvard, hubungannya dengan Allen tetap dekat. Bill dikenal sebagai seorang jenius di Harvard. Bahkan salah seorang guru Bill mengatakan bahwa Bill adalah programmer yang luar biasa jenius, namun seorang manusia yang menyebalkan.

Desember 1974, saat hendak mengunjungi Bill Gates, Paul Allen membaca artikel majalah Popular Electronics dengan judul “World`s First Microcomputer Kit to Rival Commercial Models”. Artikel ini memuat tentang komputer mikro pertama Altair 9090. Allen kemudian berdiskusi dengan Bill Gates. Mereka menyadari bahwa era “komputer rumah” akan segera hadir dan meledak, membuat keberadaan software untuk komputer - komputer tersebut sangat dibutuhkan. Dan ini merupakan kesempatan besar bagi mereka.

Kemudian dalam beberapa hari, Gates menghubungi perusahaan pembuat Altair, MITS (Micro Instrumentation and Telemetry Systems). Dia mengatakan bahwa dia dan Allen, telah membuat BASIC yang dapat digunakan pada Altair. Tentu saja ini adalah bohong. Bahkan mereka sama sekali belum menulis satu baris kode pun. MITS, yang tidak mengetahui hal ini, sangat tertarik pada BASIC. Dalam waktu 8 minggu BASIC telah siap. Allen menuju MITS untuk mempresentasikan BASIC. Dan walaupun, ini adalah kali pertama bagi Allen dalam mengoperasikan Altair, ternyata BASIC dapat bekerja dengan sempurna. Setahun kemudian Bill Gates meninggalkan Harvard dan mendirikan Microsoft.

Kisah Bill Gates Meninggalkan Harvard Demi Mengejar Impian

Ketika ia bosan dengan Harvard, Gates melamar pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan komputer di daerah Boston. Gates mendorong Paul Allen untuk mencoba melamar sebagai pembuat program di Honey-well agar keduanya dapat melanjutkan impian mereka untuk mendirikan sebuah perusahaan perangkat lunak.

Pada suatu hari di bulan Desember yang beku, Paul Allen melihat sampul depan majalah Popular Mechanics, terbitan Januari 1975, yaitu gambar komputer mikro rakitan baru yang revolusioner MITS Altair 8080 (Komputer kecil ini menjadi cikal bakal PC di kemudian hari). Kemudian Allen menemui Gates dan membujuknya bahwa mereka harus mengembangkan sebuah bahasa untuk mesin kecil sederhana itu. Allen terus mengatakan, Yuk kita dirikan sebuah perusahaan. Yuk kita lakukan.

Kami sadar bahwa revolusi itu bisa terjadi tanpa kami. Setelah kami membaca artikel itu, tak diragukan lagi dimana kami akan memfokuskan hidup kami.
Kedua sahabat itu bergegas ke sebuah komputer Harvard untuk menulis sebuah adaptasi dari program bahasa BASIC. Gates dan Allen percaya bahwa komputer kecil itu dapat melakukan keajaiban. Dari sana pula mereka mempunyai mimpi, tersedianya sebuah komputer di setiap meja tulis dan di setiap rumah tangga.

Semangat Allen dan Gates tidak percuma. Berawal dari komputer kecil itulah yang menjadi mode dari segala macam komputansi. Dan sekarang bisa Anda lihat bahwa PC telah benar-benar menjadi alat jaman informasi. Dan hampir setiap orang mengenal Bill Gates sebagai orang terkaya di dunia saat ini.

"orang yang sukses adalah
orang yang memiliki mimpi
dan keyakinan bahwa mimpi itu akan dapat terjadi
berapapun harga yang harus ia bayar"
milkyround

OPRAH WINFREY


Bermodal keberanian “Menjadi Diri Sendiri”, Oprah menjadi presenter paling populer di Amerika dan menjadi wanita selebritis terkaya versi majalah Forbes, dengan kekayaan lebih dari US $ 1 Milyar. Copy acara “The Oprah Winfrey Show” telah diputar di hampir seluruh penjuru bumi ini.

TAHUKAH ANDA?
Lahir di Mississisipi dari pasangan Afro-Amerika dengan nama Oprah Gail Winfrey. Ayahnya mantan serdadu yang kemudian menjadi tukang cukur, sedang ibunya seorang pembantu rumah tangga. Karena keduanya berpisah maka Oprah kecil pun diasuh oleh neneknya di dilingkungan yang kumuh dan sangat miskin. Luarbiasanya, di usia 3 tahun Oprah telah dapat membaca Injil dengan keras.

“Membaca adalah gerai untuk mengenal dunia” katanya dalam suatu wawancaranya.

Pada usia 9 tahun, Oprah mengalami pelecehan sexual, dia diperkosa oleh saudara sepupu ibunya beserta teman-temannya dan terjadi berulang kali. Di usia 13 tahun Oprah harus menerima kenyataan hamil dan melahirkan, namun bayinya meninggal dua minggu setelah dilahirkan.

Setelah kejadian itu, Oprah lari ke rumah ayahnya di Nashville. Ayahnya mendidik dengan sangat keras dan disiplin tinggi. Dia diwajibkan membaca buku dan membuat ringkasannya setiap pekan. Walaupun tertekan berat, namun kelak disadari bahwa didikan keras inilah yang menjadikannya sebagai wanita yang tegar, percaya diri dan berdisiplin tinggi.

Prestasinya sebagai siswi teladan di SMA membawanya terpilih menjadi wakil siswi yang diundang ke Gedung Putih. Beasiswa pun di dapat saat memasuki jenjang perguruan tinggi. Oprah pernah memenangkan kontes kecantikan, dan saat itulah pertama kali dia menjadi sorotan publik..

Karirnya dimulai sebagai penyiar radio lokal saat di bangku SMA. Karir di dunia TV di bangun diusia 19 tahun. Dia menjadi wanita negro pertama dan termuda sebagai pembaca berita stasiun TV lokal tersebut. Oprah memulai debut talkshow TVnya dalam acara People Are Talking. Dan keputusannya untuk pindah ke Chicago lah yang akhirnya membawa Oprah ke puncak karirnya. The Oprah Winfrey Show menjadi acara talkshow dengan rating tertinggi berskala nasional yang pernah ada dalam sejarah pertelevisian di Amerika. Sungguh luar biasa!

Latar belakang kehidupannya yang miskin, rawan kejahatan dan diskriminatif mengusik hatinya untuk berupaya membantu sesama. Tayangan acaranya di telivisi selalu sarat dengan nilai kemanusiaan, moralitas dan pendidikan. Oprah sadar, bila dia bisa mengajak seluruh pemirsa telivisi, maka bersama, akan mudah mewujudkan segala impiannya demi membantu mereka yang tertindas.

Oprah juga dikenal dengan kedermawanannya. Berbagai yayasan telah disantuni, antara lain, rumah sakit dan lembaga riset penderita AIDs, berbagai sekolah, penderita ketergantungan, penderita cacat dan banyak lagi.

Dan yang terakhir, pada 2 januari 2007 lalu, Oprah menghadiri peresmian sekolah khusus anak-anak perempuan di kota Henley-on-Klip, di luar Johannesburg, Afrika selatan, yang didirikannya bersama dengan pemirsa acara televisinya. Oprah menyisihkan 20 juta pounsterling ( 1 pons kira2 rp. 17.000,- )atau 340 milyiar rupiah dari kekayaannya. “Dengan memberi pendidikan yang baik bagi anak2 perempuan ini, kita akan memulai mengubah bangsa ini” ujarnya berharap.

Kisah Oprah Winfrey ialah kisah seorang anak manusia yang tidak mau meratapi nasib. Dia berjuang keras untuk keberhasilan hidupnya, dan dia berhasil. Dia punya mental baja dan mampu mengubah nasib, dari kehidupan nestapa menjadi manusia sukses yang punya karakter. Semangat perjuangannya pantas kita teladani!

NANCY MATTHEWS EDISON (1810-1871)

NANCY MATTHEWS EDISON (1810-1871)



suatu hari, seorang bocah berusia 4 tahun, agak tuli dan bodoh di sekolah, pulang ke rumahnya membawa secarik kertas dari gurunya. ibunya membaca kertas tersebut, " Tommy, anak ibu, sangat bodoh. kami minta ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah."

sang ibu terhenyak membaca surat ini, namun ia segera membuat tekad yang teguh, " anak saya Tommy, bukan anak bodoh. saya sendiri yang akan mendidik dan mengajar dia."

Tommy bertumbuh menjadi Thomas Alva Edison, salah satu penemu terbesar di dunia. dia hanya bersekolah sekitar 3 bulan, dan secara fisik agak tuli, namun itu semua ternyata bukan penghalang untuk terus maju.

tak banyak orang mengenal siapa Nancy Mattews, namun bila kita mendengar nama Edison, kita langsung tahu bahwa dialah penemu paling berpengaruh dalam sejarah. Thomas Alva Edison menjadi seorang penemu dengan 1.093 paten penemuan atas namanya. siapa yang sebelumnya menyangka bahwa bocah tuli yang bodoh sampai" diminta keluar dari sekolah, akhirnya bisa menjadi seorang genius? jawabannya adalah ibunya!

ya, Nancy Edison, ibu dari Thomas Alva Edison, tidak menyerah begitu saja dengan pendapat pihak sekolah terhadap anaknya. Nancy yang memutuskan untuk menjadi guru pribadi bagi pendidikan Edison dirumah, telah menjadikan puteranya menjadi orang yang percaya bahwa dirinya berarti. Nancy yang memulihkan kepercayaan diri Edison, dan hal itu mungkin sangat berat baginya. namun ia tidak sekalipun membiarkan keterbatasan membuatnya berhenti.

cowok vs cewek

Singkatan KO = Kata Orang
------------------------------------------------------------------
1. Cowok angkat barang berat
KO : Udah biasa, biarin aja nggak usah dibantuin
Cewek angkat barang berat
KO : Kesian banget, bantuin yuk..emang
suaminya ke mana ?
------------------------------------------------------------------
2. Cowok pake baju cewek
KO : Idih mbak..mo ke mana ? suwit..suwit..(bencong maksudnya)
Cewek pake baju cowok
KO : Cool..boleh juga..eksentrik
------------------------------------------------------------------
3. Cowok nganterin ceweknya orang
KO : Kamu siapa ? jedag..jedug (digebukin ama cowoknya yg cewek)
Cewek dianterin ama cowok orang lain
KO : Tetep aja yg digebugin yg cowok ama
cowoknya yg cewek, bingungkan..he..he..
------------------------------------------------------------------
4. Cowok suka shopping
KO : Amit-amit kayak cewek aja..
Cewek suka shopping
KO : Udah biasa maklumlah cewek
------------------------------------------------------------------
5. Cowok muter-muter di mall
KO : Muter-muter terus, nggak beli-beli...kayak
setrikaan nggak panas
Cewek muter-muter di mall
KO : Maklumlah belon ada yg cocok untuk dibeli..
------------------------------------------------------------------
6. Cowok ditraktir cewek
KO : Pelit banget sih..dasar cowok nggak modal
Cewek ditraktir cowok
KO : Emang seharusnya gitu
------------------------------------------------------------------
7. Cowok cengeng ngeliat sinetron
KO : Dasar cengeng, gitu aja nangis...gengsi doongg !!
Cewek cengeng ngeliat sinetron
KO : Bener2 berperasaan halus..dia pasti terharu..
------------------------------------------------------------------
8. Cowok nggak kerja
KO : Nggak punya malu
Cewek nggak kerja
KO : Lebih mementingkan keluarga
------------------------------------------------------------------
9. Cowok suka marah-marah
KO : Kasar banget dia, moga aja ntar suamiku nggak gitu
Cewek suka marah-marah
KO : Pasti dia lagi datang bulan
------------------------------------------------------------------
10. Cowok menangis & ketawa dalam satu waktu
KO : Gila
Cewek menangis & ketawa dalam satu waktu
KO : Begitulah cewek
------------------------------------------------------------------
11. Cowok idiot
KO : Malu-maluin
Cewek idiot
KO : Dia kan cantik
------------------------------------------------------------------
12. Cowok ngabisin duit istrinya
KO : Pasti buat selingkuh
Cewek ngabisin duit suaminya
KO : Itulah tugas cewek
------------------------------------------------------------------

cowo ga pake baju
KO: mas, finalis L-men ya??

cewe ga pake baju
KO: asyikkkkkkkkk ada bispak.. yuk.. yak.yuk...
--------------------------
cowo tiap ari pulang malem
KO: ah nama nya juga cowo..

cewe tiap ari pulang malem
KO: gmn hari ini mbak, dapet pelanggan brp?
--------------------------
cewe cium cewe
KO: wow..

cowo cium cowo
KO: anjrittttttt najisssssss.....
--------------------------------
cewe keliatan 'itu' nya:
KO: inilah arti sesungguh nya dari seni

cowo keliatan 'itu' nya:
KO: mas, cacing nya di kandang-in
--------------------------------
cewe bawa mobil ngebut..
KO: ati-ati mbak.. kalo mobil nya lecet khan sayang.. apalagi kalo mbak yang lecet lebih sayang lagi..

cowo bawa mobil ngebut..
KO: anjeng, belagu banget si..!!!!!!!gue timpuk batu ntar..
---------------------------------
cewe cakep,tajir tapi bertahun2 ngejomblo
KO: tipe orang yang pemilih ya mbak?

cowo cakep,tajir tapi bertahun2 ngejomblo
KO: HOMO!!
-----------------------------
cewe cakep makan di warteg
KO: wow, cakep2 tapi ga matre,tipikal ce idaman

cowo cakep makan di warteg
KO: cakep2 sayang KERE..
------------------------------
cewe lagi diem tiba2 mendesah..
KO: knp mbak?ada yang bisa saya bantu?

cowo lagi diem tiba2 mendesah..
KO: dasar BANCI KALENG!!!!
---------------------------
cewe jalan nya lambat
KO: wow anggun..

cowo jalan nya lambat
KO: mas, lagi kena 'raja singa' yah??

Mengapa Pertempuran 10 November 1945 Terjadi?

Pada 9 Maret 1942, Pemerintah India-Belanda (Nederlands-Indiƫ) di Kalijati dekat
Subang, Jawa Barat, menandatangai dokumen Menyerah Tanpa Syarat (Unconditional
Surrender) kepada balatentara Dai Nippon. Letnan Jenderal Hein Ter Poorten,
Panglima Tertinggi tentara India-Belanda mewakili Gubernur Jenderal Jonkheer
Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer di pihak Belanda dan Jepang diwakili oleh
Jenderal Hitoshi Imamura, Panglima Tentara 16. Tentara Belanda secara sangat
pengecut menyerah kepada tentara Jepang dan telah menyerahkan seluruh wilayah,
termasuk rakyat jajahannya kepada penguasa baru yang tidak kalah kejam dan
rakusnya. Dengan demikian, Belanda telah kehilangan segala legitimasinya atas
wilayah bekas jajahannya.

Setelah Jepang menyerah –juga Tanpa Syarat- kepada sekutu pada 15 Agustus 1945,
tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pernyataan
kemerdekaan ini jelas bukan merupakan suatu pemberontakan terhadap siapapun, baik
kepada Belanda, maupun kepada Jepang.

Sebagaimana diketahui, teks proklamasi disusun pada 16 Agustus 1945, malam hari,
di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, dengan sepengetahuan Mayor Jenderal Otoshi
Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang di Jawa. Dan
setelah proklamasi kemerdekaan tersebut, Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto,
Gunseikan (Kepala Pemerintahan) di Jakarta, juga tidak mengambil tindakan apapun
terhadap Republik Indonesia.

Sebaliknya, sejak saat itu, dan mencapai puncaknya pada bulan September 1945, di
seluruh Indonesia, rakyat mulai mengambil alih pemerintahan sipil dan melucuti
tentara Jepang, bahkan di beberapa daerah merampas senjata-senjata dari Jepang
melalui pertempuran sengit, yang menimbulkan korban besar di kedua belah pihak,
seperti halnya yang terjadi di Surabaya.

Senjata yang direbut dari tentara Jepang di Surabaya dan sekitarnya sedemikian
banyak, dan dapat mempersenjatai sekitar 20.000 – 30.000 orang, dari mulai pistol,
sampai senjata berat seperti meriam dan tank. Bahkan dapat mengirim senapan
sebanyak 4 gerbong kereta api ke Jakarta dan 2 gerbong ke Yogyakarta.

Untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan interniran Eropa dan memulihkan
keamanan di wilayah bekas pendudukan Jepang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
tentara Sekutu (Allied Forces) menugaskan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten,
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Asia Tenggara (Supreme Commander South East
Asia Command).

Untuk tugas ini, Mountbatten mengerahkan 3 Divisi (British-Indian Divisions) dan
dibantu oleh 2 Divisi Australia di bawah Jenderal Morsehead.

Namun, selain tugas dari Allied Forces tersebut, ada agenda tersembunyi yang
dilakukan oleh tentara Inggris dan Australia, yaitu membantu Belanda memperoleh
kembali jajahannya, sesuai dengan perjanjian antara Inggris dan Belanda di
Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945, yang dinamakan Civil Affairs
Agreement, di mana disepakati, bahwa tentara Inggris akan membersihkan kekuatan
bersenjata Republik Indonesia, dan menyerahkan daerah yang telah “dibersihkan”
kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Karena berbagai kendala dan keterbatasan yang mereka miliki, kapal perang Inggris
pertama, HMS Cumberland, baru tiba tanggal 15 September 1945 di Jakarta. Ikut
dengan kapal ini adalah Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur
zaman penjajahan India-Belanda.

Sedangkan di Surabaya, pasukan Inggris, Brigade 49 dari Divisi 23, baru tiba pada
25 Oktober 1945, lebih dari 2 bulan setelah pernyataan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Sementara itu di Surabaya bangsa Indonesia telah mengambil alih, bukan
saja pemerintahan sipil, melainkan juga di bidang kemiliteran dan kepolisian.
Seluruh tentara Jepang telah dilucuti dan diinternir oleh tentara dan
laskar-laskar pemuda Indonesia.

Brigade 49 dari 23rd British-Indian Division berkekuatan sekitar 5.000 personal di
bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby, segera
bermaksud melucuti senjata yang dimiliki rakyat di Surabaya dan sekitarnya, namun
sudah tentu mendapat tentangan keras dari para pemimpin Republik Indonesia di
Surabaya.

Setelah melihat kekuatan yang dihadapinya, pada 26 Oktober 1945, Mallaby mengalah
dan menandatangani persetujuan dengan Gubernur Jawa Timur, Suryo, bahwa yang
dilucuti hanya tentara Jepang, dan tentara Republik Indonesia tidak dilucuti.

Namun terjadi kesalahan komunikasi antara pimpinan tertinggi tentara Inggris. Di
Jakarta, mereka memutuskan, bahwa seluruh persenjataan yang berada di tangan orang
Indonesia, harus diserahkan kepada tentara sekutu, juga di Surabaya. Pada 27
Oktober 1945 pukul 11.00, satu pesawat Dakota yang langsung datang dari Jakarta,
menyebarkan pamflet di aras Surabaya dan sekitarnya, yang berisi seruan, agar
seluruh senjata harus diserahkan kepada tentara sekutu dalam waktu 2 x 24 jam, dan
setelah itu “ BARANG SIAPA YANG DIJUMPAI DI JALAN MEMBAWA SENJATA,
AKAN DITEMBAK DITEMPAT.”

Dikabarkan, bahwa Brigadir Jenderal Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet
tersebut, namun sebagai seorang serdadu, harus melaksanakan perintah atasan.
Tentara Inggris mulai melakukan razzia senjata. Hal ini tentu membuat gusar
pimpinan Republik Indonesia di Surabaya, karena mereka menilai, bahwa Inggris
melanggar kesepakatan yang ditandatangani satu hari sebelumnya, pada 26 Oktober
1945.

Pada sore hari tanggal 27 Oktober 1945, secara kilat dilakukan rapat pimpinan
militer tertinggi di Surabaya. Pertimbangan yang diambil adalah, apabila mereka
menyerahkan senjata kepada sekutu, tentara Republik Indonesia akan menjadi macan
ompong, alias tidak mempunyai kekuatan untuk mempertahan kemerdekaan dan
kedaulatan, sedangkan apabila tidak menyerahkan senjata, mereka akan ditembak di
tempat. Selain itu, sudah sejak awal pimpinan Republik mencurigai, bahwa tentara
Inggris dan Australia membantu Belanda untuk menjajah kembali Indonesia, yang
kemudian dugaan ini ternyata benar.

Dalam pertimbangan yang dilakukan, dikemukakan, bahwa pihak Republik mengetahui
berapa kekuatan tentara Inggris, dan di mana mereka berada, yaitu di 8 pos
pertahanan yang tersebar di Surabaya, sedangkan pihak Inggris tidak mengetahui
berapa kekuatan bersenjata Republik.

Dengan berpatokan pada gagasan Jenderal Prusia, Carl von Clausewitz, bahwa
“Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik),
maka diputuskan untuk: MENYERANG TENTARA INGGRIS. Malam itu juga disebarkan
keseluruh pasukan serta laskar-laskar pemuda di Surabaya dan sekitarnya (Sidoarjo,
Gresik, Mojokerto dsb.) mengenai keputusan tersebut.

Dan malam itu juga, seluruh kekuatan rakyat bersenjata yang ada di sekitar
Surabaya, berdatangan untuk ikut ambil bagian dalam penyerangan tersebut.

Pagi hari tanggal 28 Oktober 1945 mulai pukul 04.30, serangan dilakukan terhadap 8
pos pertahanan Inggris di Surabaya.Tercatat sekitar 60 pasukan yang ikut ambil
bagian dalam pertempuran bulan Oktober di Surabaya, a.l. TKR Sidoarjo, Pasukan
Sadeli Sastrawijaya dari Bandung, Pasukan TKR Mojokerto, TKR Laut, TKR Udara,
PasukanMagenda dari Bondowoso, Pasukan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi),
Pasukan Kalimantan, Pasukan Sriwijaya (yang seluruhnya terdiri pemuda-pemuda asal
Sumatera Utara dan Aceh, mantan pasukan Gyugun yang mempunyai pengalaman tempur
melawan tentara sekutu di Morotai), para Kiyai dari Banten dll.. Boleh dikatakan
seluruh suku bangsa Indonesia diwakili oleh para pemudanya di Surabaya dalam
pertempuran mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan pada 17 Agustus
1945. Juga pemuda-pemuda Ambon dan Papua banyak yang bertempur di pihak Republik,
dan bahkan ada juga yang dari pulau Rote.

Bila dihitung, tepat TUJUHBELAS TAHUN setelah Sumpah Pemuda di Jakarta pada 28
Oktober 1928, pemuda Indonesia di Surabaya mewujudkan semangat tersebut dalam
bentuk fisik yang sangat heroik. Apakah hal ini hanya suatu kebetulan? Ataukah
memang ini suatu bentuk predestinasi (telah ditentukan sebelumnya)?

Selain sekitar 20.000 – 30.000 rakyat yang bersenjata, ikut mengambil bagian dalam
pertempuran tersebut sekitar 100.000 pemuda yang menyerbu hanya dengan clurit,
bambu runcing, tombak dll. Inilah awalnya bonek (bondo nekat-modal nekat) yang
sangat positif bagi perjuangan bangsa Indonesia.

Tentara Inggris yang menduga hanya akan melakukan tugas adminstratif, tidak siap
dengan logistik dan paramedis untuk suatu petempuran. Setelah digempur satu hari
penuh hingga malam hari, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak
kuat menahan gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Mereka mengirim berita ke
Jakarta kepada Panglima tertinggi Tentara Inggris, Letnan Jenderal Sir Philip
Christison, untuk meminta bantuan Presiden Sukarno. Seorang perwira Inggris,
Kolonel A.J.F. Doulton: ”The Heroic resistance of the British troops could only
end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the
passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on
the influence of Sukarno.”

Malam itu juga, Presiden Sukarno yang sudah tidur, dibangunkan dan diminta untuk
datang ke Surabaya untuk menolong tentara Inggris yang berada di ambang kepunahan.

Sementara itu, pertempuran di Surabaya berlangsung terus dengan sengitnya. Blokade
total dilakukan atas pos-pos pertahanan Inggris. Saluran air dan listrik
dimatikan. Bantuan logistik yang didrop melalui udara oleh pesawat terbang Inggris
tidak tepat jatuh di pos tentara Ingris, dan jatuh ketangan pemuda Indonesia.
Akhirnya, pada 29 Oktober 1945 pagi hari, di dua tempat, antara lain di kompleks
Darmo, yang menjadi satu pos pertahanan Inggris, tentara Inggris mengibarkan
BENDERA PUTIH: MENYERAH. Kolonel dr. Wiliater Hutagalung menerima Kapten Flower
yang berkebangsaan Australia untuk berunding.

Dapat dibayangkan, bagaimana malunya tentara Inggris, sebagai salah satu PEMENANG
PERANG DUNIA II, setelah digempur satu hari-satu malam oleh rakyat Indonesia di
Surabaya, dipaksa mengibarkan BENDERA PUTIH.

Presiden Sukarno bersama Wakil Presiden Hatta dan Menteri Penrangan Amir
Syarifuddin Harahap tiba tanggal 29 Oktober 1945 siang hari, dan segera melakukan
perundingan dengan Brigadir Jenderal Mallaby. Pada hari itu ditandatangani
persetujuan gencatan senjata yang dinamakan:

“Armistic Agreement regarding the Surabaya Incident; a provisional agreement
between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby,
concluded on the 29th October 1945.”

Dengan demikian, walau pun karena kepepet, tentara Inggris terpaksa mengakui
Sukarno sebagai THE PRESIDENT OF THE REPUBLIC INDONESIA.

Keesokan harinya, pada 30 Oktober 1945 siang hari, Presiden sukarno menandatangani
persetujuan dengan Panglima Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn.
Setelah itu, mereka segera kembali ke Jakarta.

Sore hari, dalam rangka penyebarluasan kesepakatan Soekarno-Hawthorn, timbul
insiden tembak-menembak di pos pertahanan Ingris di Gedung Internatio, dekat
Jembatan Merah. Insiden itu dipicu oleh tembakan yang dimulai oleh tentara
Inggris, sebagaimana diakui oleh komandan Kompi D, Mayor Venu K. Gopal, yang
bertahan di Gedung Internatio. Pengakuan itu ditulis pada 8 Agustus 1974 kepada
penulis Australia, J.G.A. Parrot, yang menulis buku “Who killed Brigadier
Mallaby?”

Dalam tembak-menembak tersebut (cross fire), Mallaby, komandan Brigade 49,
kemudian ditemukan tewas. Pihak Inggris menyalahkan Indonesia atas tewasnya
Mallaby, namun dalam rekonstruksi, kemungkinan besar Mallaby tewas karena granat
yang dilemparkan oleh Kapten R.C. Smith. Pelemparan granat yang mengakibatkan
terbakarnya mobil yang ditumpangi Mallaby diakui oleh Smith dalam surat-suratnya
kepada J.G.A. Parrot, a.l. pada 23 November 1973 dan 20 Februari 1974.

Tuduhan Panglima tertinggi Tentara Inggris, Letnan Jenderal Christison dan
Panglima Divisi 23 Mayor Jenderal Mansergh tanggal 31 Oktober dan 9 November 1945
telah dibantah oleh Tom Driberg, anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh,
sebagaimana disampaikannya dalam sidang parlemen Inggris tanggal 20 Februari 1946,
bedasarkan keterangan yang diperolehnya dari Kapten Shaw, mantan ajudan Brigadir
Jenderal Mallaby.

Namun sejarah mencatat, bahwa tentara Inggris tetap melancarkan agresi militer
mereka, terbesar setelah Perang Dunia II, dengan mengerahkan sekitar 30.000
tentara, a.l. 20.000 dari Divisi 5, yang ikut mengalahkan pasukan Jerman di bawah
Marsekal Erwin Rommel yang legendaris di El alamein, Mesir, dan dengan
persenjataan termutakhir yang mereka miliki.

Akibatnya: Lebih dari 20.000 rakyat Surabaya –sebagian besar adalah sipil,
termasuk wanita dan anak-anak- tewas dalam agresi militer tersebut, dan hampir
seluruh kota Surabaya hancur, terutama bagian selatan.

Sementara itu, di wilayah timuer Indonesia, tentara Australia “membersihkan”
kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan setelah dibersihkan, pada 13 Juli
1946, secara resmi seluruh wilayah Indonesia Timur diserahkan kepada Netherlands
Indies Civil Administration (NICA), dan Belanda tidak membuang-buang waktu. Pada
16 – 22 Juli 1946, mereka menggelar yang dinamakan “Konferensi Malino”, di Malino.
Sulawesi Selatan, yang menjadi cikal bakal pembentukan Negara Indonesia Timur dan
Negara-Negara Boneka lain bentukan Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia.

Demikian ringkasan kilas balik sejarah, untuk memberikan informasi mengenai
peristiwa heroik PEMUDA INDONESIA PADA 28 OKTOBER 1945 DI SURABAYA, yang juga
patut mendapat perhatian dan penghargaan.

(Ringkasan ini dikutip dari : “10 November 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?”
tulisan Batara R. Hutagalung. Penerbit: Millenium Publisher. )


source : http://befo.blogs.friendster.com/fery/2007/12/mengapa_pertemp.html

puisi ws rendra

SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972

...BAHWA KITA DITANTANG SERATUS DEWA.

Operasi Linud Terbesar di Dili

Hanya sekitar tujuh jam, Minggu 7 Desember 1975, Kota Dili dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam sejarah ABRI. Grup-1 Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad yang sebagian besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur itu, diterjunkan dari sembilan pesawat angkut C-130B Hercules TNI AU.

Menjelang jam 05.00 WITA, BTP-5 (Batalion Tim Pendarat)/Infanteri Marinir, mengendap-endap di pantai Kampung Alor. Dengan dukungan tembakan kanon kapal perang TNI AL, BTP-5 mengawali rencana besar operasi perebutan Kota Dili, 7 Desember 1975. Operasi ini merupakan kelanjutan "Operasi Komodo" yang digelar Bakin awal 1975, untuk mengantisipasi makin keruhnya peta politik di Timor Loro Sae (Timor Negeri Matahari Terbit).

Euphoria politik yang berkepanjangan ini, memaksa Indonesia meningkatkan operasi menjadi operasi Sandhi Yudha (combat inteligence) terbatas dengan sandi "Operasi Flamboyan". Operasi yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dengan inti pasukan pemukul operasi Grup-1 Para Komando/Kopassandha yang menempatkan Detasemen Tempur-2 (Denpur) di perbatasan sejak Oktober 1975 inilah, yang kemudian berubah ujud menjadi "Operasi Seroja".

Perebutan Dili yang didahului operasi ampibi ini, diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang. Operasinya sendiri dilakukan melalui pertimbangan dan analisa lapangan setelah melihat pergerakan pasukan Fretilin. Bukan sepihak, ketegasan sikap Indonesia juga didasari keinginan rakyat Timor Portugal berintegrasi dengan Indonesia. Sikap yang diwakili empat partai Apodeti (Associacao Popular Democratica de Timor), UDT (Uniao Democratica de Timorense), KOTA (Klibur Oan Timor Aswain), dan Trabalista itu dikenal dengan Deklarasi Balibo, 30 Nopember 1975. Sikap yang sekaligus menandingi deklarasi berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur secara sepihak oleh partai Fretilin (Fronte Revolucionaria de Timor Leste Independente), dua hari sebelumnya.

Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat baku tembak dengan pasukan ABRI dalam perebutan Benteng Batugade (7 Oktober). Alasan berikutnya, meningkatnya pelanggaran perbatasan diselingi perampokkan ternak oleh Fretilin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pelanggaran yang meningkat sejak Juni 1975 itu, sering tertangkap basah oleh ABRI hingga menimbulkan tembak-menembak. Korban mulai berjatuhan.

Lebih seru lagi, sejak 1 Oktober, Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja mendeteksi keberadaan dua kapal perang kelas frigat AL Portugal di sekitar Timor. Celakanya, 7 Desember pagi, kedua kapal tersebut justru merapat di lepas pantai Dili. "Mereka buang jangkar lebih dekat ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari Timor," kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Entah kebetulan, di selat yang memisahkan pulau Atauro dan pulau Alor ini, tiga formasi arrow Hercules satu formasi tiga pesawat akan membuat manuver abeam (posisi pesawat 90 derajat terhadap suatu check point di sisi kiri atau kanan pesawat).

Gunship

Menjelang berakhirnya tanggal 6 Desember 1975, di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, di luar kebiasaan, ratusan pasukan berperalatan lengkap berseliweran. Sebagian menyandang parasut T-10 buatan Amerika, separuh lagi senapan serbu AK-47 buatan Soviet. Di apron, sembilan pesawat angkut berat C-130B Hercules Skadron 31, siap terbang. Beberapa air crew menyempatkan melakukan pemeriksaan akhir sebelum mengudara.

Kesembilan pesawat ini tiba di Iswahyudi siang itu. Letkol Pnb. Suakadirul menuturkan, perintah berangkat ke Iswahyudi diterimanya Jumat, 5 Desember, dari Kol. Pnb. Susetyo, Komandan Satuan Tugas Udara Operasi Seroja. Isi perintah: usai shalat Jumat, seluruh anggota Skadron 31 kembali ke tempat masing-masing. Tidak seorangpun dibenarkan pulang. "Saya belum tahu kemana arah perintah itu. Tapi saya bisa menduga dengan melihat perkembangan situasi di lapangan," ingat Marsda (Pur) Suakadirul.

Dalam perintah rahasianya, Komandan Skadron 31 diminta menyiapkan 12 pesawat untuk mengangkut satu batalion paratroops. "Jadi saya harus menyiapkan 12 set crew. Pilot, co-pilot, navigator, engineer, radio telegrafis, load master dan pembantunya. Jumlahnya sekitar 120 orang," katanya. Kebetulan dua pesawatnya dalam perawatan, hanya 10 pesawat bisa disiapkan. Dalam jajaran penerbangnya, Suakadirul sengaja menempatkan dua penerbang senior Letkol Pnb. Siboen dan Kol.Pnb. Suhardjo. "Sebagai panutan, lah."

Maka, esok harinya, sembilan Hercules bertolak dari Halim Perdanakusuma menuju Iswahyudi. Tiga diantaranya mengangkut Kopassandha. Baru di Madiun lah, sorenya, Suakadirul mendapat kejelasan bahwa akan dilakukan operasi pen-drop-an pasukan di Dili. Untuk itu, armadanya akan mengangkut satu batalion pasukan payung. "Satu pesawat memuat 100 orang," jelas Hendro, wartawan yang meliput. Pada hari yang sama di Timor, Batalion-403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk Bone. Sorenya, disusul BTP-5/Infantri Brigade-1/Pasrat Marinir masuk LST untuk persiapan pendaratan ampibi di Dili jam 05.00 esok harinya.

Tanggal 6 Desember, jam 23.50, flight leader Letkol Pnb. Suakadirul, memulai operasi dengan menerbangkan Hercules T-1308. Berturut-turut, dipekatnya malam, kedelapan pesawat meninggalkan landasan pacu Lanud Iswahyudi. Pesawat bergerak ke arah Ponorogo, terus heading ke timur sambil menyusun formasi. Dalam penerbangan antara Ponorogo dan Denpasar, sembilan pesawat mulai membentuk formasi arrow dengan panduan exhaust dan lampu take off pesawat.

Sifat operasi pendadakan. Formasi sembilan Hercules ini diberi sandi Rajawali Flight. Untuk menjaga kerahasiaan, selama penerbangan diterapkan radio silence. Komunikasi antar penerbang dilakukan menggunakan morse. Pesawat terus naik hingga mencapai ketinggian 22.000 kaki dengan kecepatan 280 knot. Di utara Denpasar, leader mengirim morse ke Air Traffic Control (ATC) Bandara Ngurah Rai: Rajawali abeam Denpasar. Lewat Denpasar, Suakadirul kontak Lanud Penfui, Kupang, untuk menginformasikan posisi Rajawali flight pada beberapa check point ke Markas Komando Operasi Seroja di kapal tender kapal selam KRI Ratulangi.

T-1308 yang paling lambat terbangnya, dipilih sebagai flight leader agar pesawat lain sebagai wingman mudah menyesuaikan dalam terbang formasi. Bertindak sebagai wingman, Letkol Pnb. Sudjiharsono (kiri) dan Kol.Pnb.Suhardjo (kanan). Formasi arrow kedua, dua mil dibelakangnya, diterbangkan Letkol Pnb.Siboen (leader), Letkol Pnb.O H Wello (kiri), dan Letkol Pnb.Sukandar (kanan). Arrow ketiga dipimpin Letkol Pnb.Masulili dan Mayor Pnb.Achlid Muchlas/Mayor Pnb.Sudiyarso (kiri) serta Mayor Pnb.Murdowo (kanan).

Suakadirul menggambarkan, suasana begitu senyap di pesawat. Desah nafas mereka mengeras, maklum, operasi Linud pertama di Dili dan terbesar bagi Hercules sepanjang sejarah ABRI. Menunggu tentu membosankan. Apalagi tujuan medan perang. Perhitungannya, penerbangan ke Dili memakan waktu 4 jam 50 menit. Sementara tiap pesawat membawa 42.000 pound avtur JP-4, yang cukup untuk penerbangan 10 jam 30 menit.

Garis besarnya, operasi penerjunan untuk merebut Kota Dili dari Fretilin dilakukan dalam tiga sortie. Sortie pertama dengan sasaran Dili, akan diterjunkan Grup-1 Kopassandha dipimpin Letkol (Inf) Soegito dan Batalion Infantri Linud 501 di bawah komando Letkol (Inf) Matrodji. Sortie kedua, dari Lanud Penfui, Kupang, menyusul Batalion 502 di bawah Mayor (Inf) Warsito dengan target Komoro. Khusus Baret Merah, dalam operasi ini dipelopori Denpur-1, disebut juga Nanggala-5, di bawah komandan Mayor (Inf) Atang Sutisna. Sortie ketiga, direncanakan juga dari Kupang.

Letkol Soegito membagi Nanggala-5 ke dalam tiga tim. Tim-A dipimpin Mayor Atang Sutisna, melaksanakan perebutan kantor gubernur. Tim-B dipimpin Lettu Atang Sanjaya, merebut pelabuhan Dili. Sedang Tim-C dipimpin Lettu Luhut Panjaitan, merebut lapangan terbang Dili. Ketiga tim disebar ke dalam empat Hercules terdepan, dengan perhitungan jika salah satu pesawat mengalami gangguan atau tertembak, tim bisa berharap pada pesawat berikutnya. Artinya, operasi harus tetap jalan.

Pasukan sortie kedua dan ketiga yang akan diberangkatkan dari Kupang, berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Karena terbatasnya kemampuan TNI AU dalam mendukung angkutan udara, pengiriman pasukan ke Kupang diputuskan menggunakan pesawat Garuda Indonesian Airways. Garuda menjembatani pengiriman pasukan dari Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi menggunakan 17 F-28 dan empat F-27 Friendship. Operasi jembatan udara ini dipimpin langsung direktur utamanya Wiweko Supono.

Untuk mempertahankan pendadakan, tentu tidak sekadar mengandalkan pemahaman topografi. Serangan udara juga berperan. Perebutan Irian Barat memperoleh keunggulan di udara, karena didukung pesawat tempur. Pesawat pembom dan angkutnya, juga mendapat close air support. Sebaliknya, untuk Dili, bantuan tembakan udara (BTU) justru masalah. Ini disebabkan seluruh pesawat P-51 Mustang Skadron 3/Tempur Taktis dinyatakan grounded, setelah kecelakaan beruntun menewaskan, diantaranya, Mayor Pnb Sriyono. Sedangkan pesawat latih lanjut T-33 T-Bird (versi militernya Shooting Star) dan F-86 Sabre bantuan Australia, belum dipersenjatai. Dari tujuh bomber B-26 Invader Skadron 2/Pembom Taktis, hanya dua yang serviceable. Penerbang pesawat peninggalan PD II inipun, hanya dua orang yang masih berkualifikasi. Yaitu Letkol Pnb Danendra (Danlanud Penfui) dan Mayor Pnb Soemarsono, yang ditarik kembali dari Pelita Air Service.

Pentingnya BTU sangat disadari Amerika ketika di palagan Vietnam. Tidak heran kemudian, Jenderal USAF John P McConnel mengusulkan modifikasi C-47 menjadi gunship untuk mendukung bantuan tembakan udara. Dakota itu kemudian populer dengan sebutan Gooney Bird. Sebutannya pun diganti menjadi AC-47 mulanya FC-47. Pesawat yang dilengkapi tiga senapan mesin kaliber 7,62 mm di sisi, selama perang Vietnam digunakan USAF sebanyak 20 pesawat di samping AC-130 Spectre Gunship.

Terinspirasi oleh kepopuleran gunship ini, dua pesawat C-47 Dakota Skadron 2/Angkut Ringan TNI AU, dibedah menjadi AC-47 gunship. Mekanik dan teknisi Depopesbang 10 Bandung, menjejali dengan tiga senapan mesin kaliber 0,50 mm. Untuk mengenal medan, ujicoba penembakan dilakukan di sepanjang perbatasan Timor Portugal bulan September 1975. Jadilah dua B-26 dan dua AC-47, direncanakan memberikan BTU dalam mendukung operasi Linud 7 Desember.

Go!

Pesawat terus bergerak dalam kesunyian. Sesekali, bunyi morse memecah keheningan. Di timur Flores, Rajawali flight perlahan-lahan turun ke 5.000 kaki sambil menyusun formasi penerjunan. Persis di atas pulau Alor pada ketinggian 7.000 kaki, lampu merah dekat pintu menyala dan bel berdering pendek tiga kali sebagai tanda pasukan mulai berdiri untuk persiapan.

Waktu penerjunan menjelang lampu hijau tinggal 10 menit lagi. Anggota Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad, mencantolkan pengait pada ujung strop di kabel baja yang merentang di kabin. Dengan sigap, posisi ransel, senjata, dan perlengkapan perorangan lainnya dibenahi. Hampir tidak ada suara. Semua membisu dalam kesibukkan masing-masing.

Abeam Atauro, pesawat sudah di 5.000 kaki. Karena radar pesawat digunakan untuk cuaca, Suakadirul dibuat kaget ketika melongokkan kepalanya melihat dua kapal frigat Portugis Joao Roby dan Alfonso de Albuquerque lego jangkar di lepas pantai Atauro. "Tidak ada informasi dua kapal frigat dilengkapi radar dan sonar, buang sauh di Atauro," protes Suakadirul. Aneh. Padahal, KRI Ratulangi sudah berpapasan dengan Joao Roby di perairan Timor, 23 Oktober. Hebat lagi, sejak 1 Oktober keberadaan kapal yang memiliki 3 kanon 100 mm ini sebenarnya sudah diketahui. "Saya tidak mengerti soal itu," jawab Suakadirul.

Pintu kiri-kanan pesawat mulai dibuka. Kecepatan dikurangi hingga 110 knot. "Saya bilang kita 5.000 kaki. Lampu kuning menyala, terus depressurized," cerita Suakadirul. Waktu tersisa menuju dropping zone (DZ) tinggal empat menit. Perlahan, jarak horizontal antar pesawat di perpendek hingga 300 kaki (sekitar 100 meter). Demikian pula jarak vertikal antar pesawat, hanya selisih 50 kaki. "Saya berada pada ketinggian 900 kaki," ucap Suakadirul. Jadi kalau dihitung hingga pesawat terakhir, ketinggiannya 1.250 kaki.

Mendekati pantai Dili, dengan referensi Tanjung Fatukama, Rajawali flight belok kanan langsung menuju jantung kota Dili. Agar pesawat mampu terbang pada kecepatan 110 knot, menurut Suakadirul, flap diturunkan sebesar 50 persen. Bagi Suakadirul, Dili bukan hal baru. Tahun 1970, lulusan Chekoslowakia ini telah mondar-mandir dengan Dakota milik Zamrud rute Denpasar, Rembiga, Sumbawa, Kupang dan Dili untuk RON (remain over night). Sementara, navigator buka suara, "2 menit ahead."

Sembilan pesawat muncul dari balik perbukitan tanpa lindungan (escort) B-26 dan AC-47. Bel berdering panjang sekitar lima detik setelah Hercules T-1308 terbang melintas di atas sisi barat perkampungan nelayan. Jam di tangan Suakadirul menunjukkan pukul 05.45, bertepatan perubahan lampu kuning menjadi lampu hijau. "Kerongkongan saya mendadak kering," ujar Suakadirul.

Hanya dalam hitungan detik menjelang jam 05.45, jumping master berteriak. "Penerjun siap?" Dilanjutkannya dengan perintah, "Sedia di pintu!" Sekian detik kemudian, jumping master berteriak lebih keras. "Go!"

Mengambil arah 260 derajat atau hampir ke barat pada garis sejajar dengan jalan Dr. Antonio de Carvalho di tengah Kota Dili, anggota pertama melompat dari Hercules T-1308. Ratusan kemudian, berbaur dari Kopassandha dan Kostrad, melompat dari tiap pesawat. Dalam empat hitungan, parasut T-10 berwarna hijau zaitun terkembang dikeremangan pagi di atas Dili. Karena komunikasi segitiga Fretilin, Dili-Atauro-kapal frigat sudah terjalin rapi, penerjunan sortie pertama kehilangan faktor pendadakan. Pasukan diberondong secara sporadis dari bawah. Peluru api (tracer) yang dilepas Fretilin, bagai kunang-kunang memenuhi langit.

Pasukan Linud yang masih mengambang, balik menembak. Maka, pagi itu, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Linud dan gerombolan Fretilin. Entah digunakan pada saat D-day, beberapa bulan sebelumnya menurut Hendro, 15.000 pucuk senjata peninggalan Portugal dibagi-bagikan Fretilin untuk mempersenjatai rakyat. Sesungguhnya juga, Fretilin telah siaga begitu listrik dipadamkan jam 03.00 bertepatan pendaratan marinir disertai tembakan kanon dari kapal TNI AL. Dan radar Plessey dua kapal frigat Portugal pun, tentu tidak tidur.

Dapat dibayangkan perjuangan hidup-mati pasukan Linud. Tidak semua mendarat dengan selamat. Ada yang kandas di atap rumah, tersangkut di pohon atau di pagar. Yang mendarat di lapangan terbuka di tengah kota, "terpaksa" menjadi sasaran empuk. Belum sempat berbenah, mereka langsung terlibat baku tembak dengan Baret Coklat mantan Tropaz, serdadu Portugal. Sama sekali tidak ada waktu untuk konsolidasi. Tiga tim yang ditunjuk, berusaha keras menyebar memulai operasi pembebasan kantor gubernur, pelabuhan, dan lapangan terbang. Tembak-menembak bergemuruh di mana-mana. Walaupun sudah mengetahui kedatangan pasukan Indonesia, Fretilin tetap kocar-kacir. Jika mau bersabar, tentu Indonesia bisa mengambil keuntungan dengan perencanaan matang karena Fretilin tidak pernah memprediksi Indonesia akan menyerbu dari udara. Perkiraannya serbuan dari perbatasan.

Karena saat penerjunan pesawat dihujani tembakkan ditambah obstacle bukit setinggi 1.500 kaki di ujung runway Dili, Rajawali flight harus belok ke kanan arah pantai untuk terbang ke Kupang. Karena juga DZ cukup pendek dan interval penerjunan terlalu lama waktunya cuma satu menit 79 orang dari 720 pasukan para batal terjun, termasuk komandan Tim-C Lettu Luhut Panjaitan.

Tidak hanya mengenai pasukan, tembakkan dari bawah juga menghantam empat Hercules. Bahkan, load master T-1312 yang diterbangkan Letkol Wello, Pelda Wardjijo, tewas diterjang peluru yang menembus badan pesawat. Pesawat Suakadirul juga tak luput. Peluru merusak navigation compass dan auxiliary hydraulic pump. Peluru juga menembus kaca kokpit di sisi kiri Suakadirul. Secangkir kopi yang ditaruhnya, terlontar ke depan kokpit dan membasahi dahi sang captain. Crew sempat menduga captain-nya tertembak. Apalagi setelah melihat cairan kental meleleh di kepalanya. "Ternyata cuma kopi."

Dua pesawat Hercules lainnya yang diterbangi Letkol Pnb. Sudji Harsono dan Kol.Pnb. Sukandar, turut tertembak. Kesembilan pesawat plus 79 anggota yang batal terjun, meneruskan penerbangan ke Kupang selama 48 menit. Dari Kupang, setelah memeriksa kondisi pesawat yang tertembak, sortie kedua dilanjutkan menggunakan lima Hercules. Komoro ditentukan sebagai DZ. Karena empat pesawat tidak laik terbang, setengah kekuatan Batalion 502, tidak terangkut. Jam 07.45, sortie kedua diterjunkan di Komoro dengan aman karena Fretilin telah dipukul mundur ke perbukitan di selatan Dili. Suakadirul mengganti pesawatnya dengan T-1305.

Salah tembak

Sortie kedua berhamburan ke luar pesawat. Entah siapa yang memerintahkan, saat melayang di udara, 400 lebih Baret Hijau menghujani dengan tembakan dan granat iring-iringan pasukan yang sedang bergerak menuju lapangan terbang Dili. Seperti sortie pertama, tembak-menembak kembali terulang. Saling membidik terus berlangsung tanpa kedua pihak menyadari, mereka adalah teman. Di bawah Marinir yang habis memukul mundur Fretilin di sepanjang garis pantai, yang melayang, Kostrad. Untunglah Marinir cepat berinisiatif mengakhiri tembak-menembak (friendly fire), dengan mengibarkan "Merah Putih". Untung lagi, tidak ada korban.

Suakadirul mengetahui kesalahpahaman itu beberapa saat kemudian. Setibanya di Penfui, Rajawali flight mempersiapkan sortie ketiga penerjunan pasukan Kostrad yang masih tersisa ke pinggiran barat Kota Dili. Takut kejadian tragis sortie kedua terulang kembali, Mako Operasi Seroja memutuskan membatalkan sortie ketiga.

Setelah berjuang dari jam 06.00 hingga tengah hari, Dili akhirnya dibebaskan. Fretilin mundur ke perbukitan selatan kota Dili. Pemimpinnya melarikan diri ke Aileu. Lobato dan Ramos Horta hengkang ke Australia. Hanya mantan Tropaz yang berani bertahan. Petangnya, 7 Desember, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa hari itu, pukul 12.30, Dili telah dibebaskan oleh perlawanan rakyat yang dipelopori Apodeti, UDT, KOTA dan Trabalista dibantu para sukarelawan Indonesia.

Besoknya dalam evaluasi, korban dihitung. 35 orang Baret Hijau yang hampir seluruhnya dari Batalion-502/Raiders, termasuk dua mayor dan dua kapten, tewas. Dari Baret Merah, 16 orang tewas tertembak. Tiga lagi tenggelam di laut. Tiga orang yang semula hilang, mayatnya ditemukan beberapa bulan kemudian. Komandan Tim-B, Lettu Atang Sanjaya, terkena pecahan munisi AK-47-nya yang tertembak. Malang bagi rekannya, Mayor Atang Sutisna, tewas tertembak. "Ditembak sniper," ungkap Hendro. Di pihak Fretilin, korban lebih banyak lagi. Hendro Subroto mencatat dalam tulisannya yang dimuat majalah Airforces, edisi Januari 1999 di bawah judul "Drop Zone Dili", 122 tewas dan 365 orang tertawan. Operasi terus bergulir. Tiga hari kemudian, giliran Baucau dibebaskan.(ben)

TERLALU MEREMEHKAN
"Kita terlalu meremehkan Fretilin, hingga merasa Rajawali flight tidak perlu di-escort," kata Hendro Subroto. Menurut Hendro, memang Fretilin hanya memiliki senapan mesin ringan MG-34 7,92 mm Spandow. Kalau di-escort, tentu akan lain ceritanya. Korban bisa ditekan. Belum lagi keberadaan dua kapal frigat. "Mestinya intelijen beri informasi. Masa Pak Suakadirul terbang di Atauro, tidak tahu ada frigat di bawah," kritik Hendro. Salah tembak antara Marinir dan Kostrad, juga disinyalir Hendro buruknya koordinasi.

Hendro menduga lagi, mungkin perwira operasi menganggap apa yang terjadi di Padang dan Pekanbaru, akan terulang. Waktu itu, begitu pasukan payung diterjunkan, pemberontak PRRI lari terbirit-birit. "Mereka kira Fretilin juga akan lari. Nyatanya, malah nembakki," keluh Hendro. Sedang Belanda waktu "menyikat" Maguwo Desember 1948, menerjunkan dulu puluhan boneka untuk mengetahui posisi kekuatan penangkis serangan udara AURI. P-51 Mustang dan P-40 Kittyhawk-nya pun, men-straffing Maguwo sebelum pasukan payung diterjunkan. Mestinya, banyak yang bisa dijadikan referensi.(ben)



Cerita ini disadur dari Angkasa Online, semoga bisa memberikan pencerahan kepada pembaca dan generasi mendatang...
Bagaimana Perjuangan ABRI - TNI dari dulu sampai Sekarang......

source : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=274970&page=3

"pejuang" Seroja:bagian Suram Sejarah Timtim

Para cacat veteran Operasi Seroja di Timor Timur (Timtim) dan warakawuri merupakan saksi sejarah bagaimana pasukan ABRI (kini TNI) berjuang mempertaruhkan nyawa di Bumi Loro Sae. Ketika sebagian besar warga Timtim memilih merdeka lewat jajak pendapat, hati mereka pun pedih. Mereka berharap keberadaan mereka diperhatikan dan jangan lagi persoalan besar kebangsaan diputuskan pemerintah dengan gegabah.



Seroja adalah sejenis tumbuhan air berbunga putih dan merah jambu nan indah. Tapi bagi ribuan tentara, terutama mereka yang cacat semasa operasi dengan nama sandi Seroja di Timtim (1976 - 1984), nama seroja seolah menjadi sebuah mimpi buruk. Apalagi setelah hasil jajak pendapat menunjukkan, sebagian besar rakyat Timtim menghendaki kemerdekaan daripada otonomi luas, maka lengkaplah sudah luka hati "pejuang seroja".

"Kalau Anda datang ke sini tanggal 4 September 1999, usai pengumuman hasil jajak pendapat, situasinya sangat muram. Tiba-tiba seperti ada komando mengibarkan bendera merah putih setengah tiang. Semua lampu padam. Orang-orang keluar rumah dan berteriak tak karuan," papar Henu Sunarko, putra seorang cacat veteran Seroja dan Ketua Forum Komunikasi Putra-Putri Pejuang Operasi Seroja Timor Timur (Fokppost), yang belakangan rajin berdemo menentang hasil jajak pendapat.

Merah putih setengah tiang itu kini masih menghias rumah-rumah di Kompleks Wisma Seroja, di kawasan Pondok Ungu, Bekasi Utara, tempat mereka menghabiskan sisa hidupnya. Di kompleks yang bersih ini, selain bermukim penyandang cacat Seroja yang berjumlah 177 orang, juga tinggal 125 orang warakawuri (janda prajurit yang meninggal dalam tugas). Di luar Bekasi, para cacat veteran Seroja juga ada di Surabaya, Malang, Solo, dan Bandung, meskipun jumlahnya tak sebanyak di Kompleks Wisma Seroja Bekasi.



Loper koran dan tukang parkir
Henu bersama Fokppost-nya agaknya kecewa atas sikap pemerintah yang dinilai terlalu gegabah dan tergesa-gesa memutuskan persoalan kebangsaan seperti Timtim. Di lain sisi alternatif pilihan bagi masa depan Timtim tak pernah disosialisasikan secara luas, termasuk kepada keluarga besar pasukan yang terlibat dalam Operasi Seroja. Sehingga hasil jajak pendapat itu akhirnya disikapi dengan reaksional.
Kendati tidak ikut berjuang secara langsung di Timtim, Henu rupanya merasakan benar pahit getirnya jadi putra tentara. Ayahnya, Pelda (Mar) Purn. Priyanto, cacat saat bertugas di Bumi Loro Sae. Sepulang dari sana, ayahnya, dengan dibantu ibunya, mati-matian menutup biaya hidup sehari-hari bagi putra-putranya. Ayahnya mencari tambahan penghasilan sebagai satpam. Sementara ibunya berjualan di pasar. "Saya sendiri pernah jadi tukang parkir di Mayestik dan loper koran," papar Henu lirih.

Untung, setapak demi setapak kerja keras pasangan cacat veteran ini membuahkan hasil. Ayah Henu sudah dipercaya jadi Wakil Kepala Pasar Harapan Jaya Baru. Sementara ia dan kakaknya bisa meraih gelar kesarjanaan.

Kegigihan tampaknya menonjol dalam diri cacat veteran Operasi Seroja dan keluarganya. Mereka berprinsip harus tetap eksis meski harus kerja serabutan, yang penting halal. Adalah Kopka I Made Narsin yang juga punya pandangan seperti itu. Made dikirim ke Timtim tahun 1977 - 1979 dengan pangkat prajurit satu. Sial, dalam sebuah patroli di luar Kota Liquisa tentara pembawa bren ini terkena ranjau yang ditanam di sebuah jalan setapak. Ia terluka, tapi lima orang teman yang ada di depannya selamat melewati ranjau maut itu. "Betis kiri saya langsung putus," kenangnya.

Baku tembak pun segera terjadi antara rekan-rekannya dengan Fretilin. Karena itu Made baru bisa ditolong 15 menit setelah pertempuran reda. Perawatan seadanya lantas diberikan, kaki diikat untuk menahan aliran darah yang banyak keluar. Ia segera dievakuasi ke Liquisa. Sesudah menginap semalam, esok harinya ia diterbangkan ke Dili menggunakan helikopter.

Setiba di ibukota propinsi ini betis kiri Made dipotong lagi tepat di bawah lutut. Untuk menahan rasa sakit ia disuntik tiga jam sekali. Tiga hari kemudian Made yang berasal dari Batalion 742 Lombok ini diterbangkan ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan ulang di RSPAD Gatot Subroto. Di sini kondisi Made diobservasi dan dioperasi kembali.

Sepulang dari RSPAD Gatot Subroto ia harus memakai kaki palsu. Ternyata ini butuh penyesuaian yang tak mudah. Selama setahun ia menghabiskan waktu hanya untuk belajar jalan. Soalnya, kalau tidak pas, kaki bisa bisulan atau lecet. Karier kemiliterannya pun berbalik 180 derajat. Made yang berasal dari kompi artileri berat harus rela pindah ke bagian administrasi. "Sebagaimana hidup manusia, Tuhan sudah ngatur kok. Yang penting kita nggak boleh berpikir yang bukan-bukan," katanya dengan logat Bali yang masih kental.



Upaya untuk bertahan

Dari keterampilan yang ia dapatkan di Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat di Bintaro dan Balai Latihan Kerja di Cijantung, ia kini menerima servis mesin cuci, lemari es, dan AC di rumahnya yang dia tempati sejak 1985. Awalnya, ia harus mencari sendiri pelanggan melalui kenalan-kenalannya. Tapi lama-kelamaan pengguna jasanya mulai datang sendiri lantaran tahu betul kualitas kemampuannya. Bahkan dalam soal garansi, pria bertubuh tinggi besar itu berani memberi garansi sampai dua tahun. "Orang kadang bingung, kok jaminannya lama. Lha saya 'kan yang tahu kondisi mesinnya?" katanya.

Puncak kejayaan usahanya ia alami tahun 1987-1988. Waktu itu dalam sebulan ia bisa mengantungi keuntungan sampai Rp 2,5 juta. Made pun sedikit demi sedikit mulai membeli alat, sehingga ia tak perlu lagi pinjam pada orang lain. "Waktu itu, total anggarannya kira-kira Rp 15 juta," paparnya.

Kini di rumahnya di kompleks Wisma Seroja, tampak berjajar beberapa lemari es yang harus ia perbaiki. Cuma sebelumnya Made perlu berkomunikasi dengan pelanggannya soal harga suku cadang yang semakin mahal. "Kalau biaya perbaikan sudah disepakati saya baru mulai mengerjakan," katanya.

Seperti halnya Made, Kopka Purnomo juga menjalani usaha sampingan untuk menambah keuangan rumah tangganya. Yang dipilih cacat veteran tuna netra ini adalah memijat dan beternak burung perkutut. Sementara istrinya merakit kepala korek api gas.

Orang yang memanfaatkan jasanya tak tentu banyaknya. Mereka umumnya warga Kompleks Wisma Seroja. Kalaupun ada orang luar, tentu sebatas yang mengenalnya. Ia pun bisa dipanggil, tapi sejauh yang bisa dijangkau becak. "Memijat ini cuma hiburan," katanya. Dari menjual jasa ini penghasilan tambahannya tak tentu besarnya. Imbalan jasa yang dia terima untuk sekali memijat juga tak tentu. Sedangkan dari perkututnya ia menjual sepasang anakan berkisar Rp 150.000 - Rp 200.000,-.

Ny. Krantung Malonda Ellen (40), warakawuri Serma Yulius Krantung yang dianggap hilang dan dinyatakan gugur pada 1977, juga berwiraswasta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sejak pindah ke Wisma Seroja, Ny. Krantung berjualan sepatu dan celana jins dari Bandung atas ajakan saudaranya. Barang dagangan itu dia titipkan di Toko Kelompok Usaha Mandiri yang berada di dekat pintu masuk kompleks. Sebelumnya ia pernah berusaha di bidang rangkaian bunga. Berkat keuletannya ia bisa menyekolahkan satu-satunya putri tercinta di Program Diploma 3.

Bagi para cacat veteran dan warakawuri yang tidak memiliki usaha, ada kegiatan yang bisa memberi tambahan penghasilan, meskipun tidak banyak. Atas itikad baik dari salah satu produsen korek api gas, mereka diikutkan dalam kegiatan perakitan kepala korek api gas. Pada hari-hari tertentu ribuan komponen kepala korek api gas dikirim ke rumah-rumah mereka melalui koordinatornya. Jatah diberikan atas dasar kemampuan pengerjaan per anggota keluarga.

Ny. Anita, janda dari Serka (Marinir) Memet Mihardja yang gugur di Timtim tahun 1977, hanyalah satu contoh. Usaha sambilan ini mulai ditekuninya sejak 1984. Dalam sehari ia bisa merakit sekitar 2.500 korek dengan imbalan Rp 2,9/kepala korek gas. Ny. Anita bisa mengantungi Rp 40.000 - Rp 50.000,- per bulan.



Antara pedih dan bangga
Meski para cacat veteran Operasi Seroja dan warakawurinya mampu bertahan dalam menjalani hidup, mereka rupanya tak mampu menyembunyikan kepedihan. Tak terkecuali Purnomo. Ia mungkin tidak harus melakukan pekerjaannya yang sekarang bila tidak bertugas ke Timtim. Ketika berangkat ke sana tahun 1983, Purnomo masih bujangan. "Ketika itu saya tak punya kekhawatiran apa-apa, sudah aman 'kan," katanya. Tapi nasib berkata lain, kedua matanya buta terkena pecahan granat dalam sebuah patroli rutin di sekitar Los Palos. Pada peristiwa itu dua orang meninggal termasuk komandan peletonnya. Ia sendiri terluka parah, giginya pecah, pipi sobek, tangan dan kakinya lumpuh, serta matanya tak bisa melihat sampai sekarang.

Luka dan kebutaan sebenarnya tidak membuat Purnomo yang asli Purworejo itu menyesal. Yang ia rasakan justru putus asa, bahkan pernah berniat bunuh diri sampai dua kali semasa dalam perawatan, namun gagal karena ketatnya penjagaan. "Saya hampir menenggak delapan butir pil tidur dan menyilet nadi, tapi ketahuan. Padahal pintu sudah saya kunci. Seluruh ruangan bagian dalam sudah saya raba semua, saya sudah siap ambil silet di bawah kasur. Ternyata siletnya langsung diamankan," katanya kalem.

Baginya yang berat adalah masa-masa awal kecacatannya. "Tersinggung sedikit saja marahnya bukan main," katanya. Bahkan sering lupa ingatan akibat luka kepala yang dialaminya. Ia sering jalan sendiri tak tentu arah dan menabrak pintu pagar rumah sendiri. Selagi dirawat, niatnya cuma satu yaitu melarikan diri untuk bunuh diri. Suatu kali ketika penjaga lengah ia nekad keluar melompat jendela. Lantaran tak melihat, ia cuma mengandalkan ingatan. Ia merasa jalan yang ia lewati benar, tapi rupanya jalan itu sedang digali dan ia terperosok ke dalamnya.

Kepercayaan diri dan semangat hidupnya mulai tumbuh tatkala Purnomo mulai berkumpul dengan sesama cacat veteran Seroja yang cacat terutama yang tidak melihat. Rasa putus asanya berangsur-angsur hilang.

Kopka Elan Sutarna yang mengalami cacat pada mata kanannya juga sempat kehilangan kepercayaan diri. Boro-boro mencari calon pasangan hidup, bertemu orang saja sudah minder. "Waktu pulang dari rumah sakit, saya sudah kayak orang terbuang saja. Seperti ayam tidak punya induk. Jangankan main keluar, nongol di pintu saja rasanya sudah kayak diperhatikan banyak orang. Ya, akhirnya di kamar saja," aku Sekretaris II Korps Cacat Veteran RI cabang khusus Seroja ini. "Kalau bukan orang tua yang mencarikan calon istri, saya nggak bisa kimpoi," tambahnya.

Sementara janda prajurit yang gugur dalam Operasi Seroja pun menderita tekanan batin yang tak kalah pedihnya. Ny. Krantung, misalnya, ketika menceriterakan kisah hidup suaminya sebagai prajurit TNI, matanya sering berkaca-kaca. Kata-katanya lirih dan terputus-putus. Bisa dimengerti karena sampai kini jenazah suaminya tak pernah ditemukan. "Menurut mantan komandan suami saya di Baucau, ada monumen yang memuat daftar 39 orang yang gugur termasuk nama suami saya," katanya memelas.

Karena ketidakjelasan nama korban, berita meninggalnya suaminya baru dia ketahui setelah 3 bulan. "Terus terang saya sangat sedih. Apalagi saya harus membesarkan putri semata wayang saya yang baru berumur dua tahun waktu itu," ungkapnya. Kini putrinya telah tumbuh dewasa. Bahkan sewaktu Fokppost mengadakan aksi demo menentang hasil jajak pendapat, putrinya selalu berada di barisan depan.

Dari sekian panjang rangkaian kepedihan yang dialami para cacat veteran Operasi Seroja dan warakawurinya, ternyata masih menyisakan sepenggal kebanggaan. Ny. Anita mungkin masih bisa dibilang menyimpan kebanggaan itu. Atas jasa-jasa suami ibu tiga orang anak dan nenek seorang cucu ini, nama Memet Mihardja diabadikan sebagai nama jalan di Ksatrian Marinir Cilandak. Kalau saja nama-nama pejuang Seroja yang telah gugur diabadikan seperti itu, barangkali kepedihan yang dirasakan keluarga yang ditinggalkan akan (sedikit) terobati. (G. Sujayanto/I Gede Agung Yudana)


PS :
"BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENGHARAI JASA PARA PAHLAWANNYA" (IR.SOEKARNO)


source : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=274970&page=3

Benny Moerdani

Benny Moerdani
Wajah Ganda Seorang Prajurit Komando

BANDARA Halim Perdanakusuma, Jakarta, 31 Maret 1981. Pesawat DC 10 Garuda
mendarat, membawa pulang pasukan antiteror Kopasandha (kini Kopassus).
Pasukan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sintong Panjaitan itu baru saja
membebaskan para sandera serta menewaskan kelima pembajak di Bandara Don
Muang, Bangkok, Thailand.

RATUSAN orang bersorak-sorai menyambut kedatangan mereka, meluber sampai ke
tepi landasan pacu. Di tengah kesibukan upacara, Menteri Penerangan Ali
Moertopo bertanya kepada Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo, "Lho, Benny
ana ngendi, di mana dia?"

Tanpa ada yang memerhatikan, sewaktu penyambutan sedang riuh, Benny
menyelinap turun, lewat pintu di ekor pesawat, keluar dan naik taksi menuju
Cendana, melapor kepada Presiden Soeharto. "Lho, Ben kapan tekamu? (kapan
kau datang?)," tanya Ny Tien Soeharto kaget, melihat Benny tiba-tiba muncul
di ruang tamu.

Benny sering diistilahkan clingus, pemalu, tetapi dia memang tidak senang
upacara dan tetek bengek seremonial. Dengar komentar Ny Theresa Hartini,
istri yang dinikahinya sejak Desember 1964, "Ia tidak pernah mau bercerita
sedang mengerjakan apa, pergi ke mana, dengan siapa akan bertemu. Meskipun
demikian, yang membanggakan dari Bapak, dia selalu ngayomi, melindungi."

TOK-tok-tok, terdengar bunyi pintu diketuk, pada tengah malam buta. Tuan
rumah sambil membuka daun pintu bertanya, "Siapa...?"

Dor, pistol memuntahkan pelurunya. Peluru melesat, pemilik rumah langsung
tergeletak dan tewas. Sambil menimang pistol yang masih mengepul, tamu
tersebut menjawab, "... nama saya Benny."

Ketika lelucon dari Australia itu saya sampaikan kepada Pak Benny, demikian
setiap kali saya menyebut nama Jenderal (Purn) Leonardus Benyamin Moerdani
(1932-2004), tanpa ekspresi, dengan raut mukanya yang selalu dingin, dan
tanpa nada suara berubah, Benny mengatakan, "Ada-ada saja mereka."

Untuk para pengagumnya, dia dilukiskan sebagai prajurit pemberani, lugas,
efisien dalam bertindak, all out, bekerja tuntas, langsung bergerak setelah
menerima perintah dan yang dia yakini benar. Di sisi lain, menurut pandangan
lawannya, Benny adalah pembunuh berdarah dingin, tega menumpas habis semua
musuh, tanpa pertimbangan lain. Dengan prinsip: pukul dulu urusan belakang,
seperti kisah lelucon di atas tadi.

Kritik dan keluhan atas beragam tindakan dan langkah yang pernah dilakukan
Pak Benny tidak semuanya keliru. Pada saat akan menyerbu pesawat Garuda
Indonesia yang dibajak-di Bangkok itu-dia berkata, "Apa pun yang terjadi,
para pembajak harus dibunuh. Kemungkinan ada penumpang yang kena tembakan,
hal itu mungkin sudah suratan nasib. Mereka harus kita beri uang duka dan
dimakamkan di taman pahlawan. Dengan pengorbanannya, mereka adalah
pahlawan."

Untung, tidak seorang penumpang pun jadi korban. Operasi pembebasan sandera
berhasil dengan gemilang, semua pembajak terbunuh. Korban yang kemudian
meninggal beberapa hari setelah kejadian, seorang anggota pasukan khusus dan
kapten pilot Garuda, penerbang pesawat naas itu.

Sintong Panjaitan melukiskan, "Pak Benny memang pemberani, tetapi Beliau
juga selalu campur tangan sampai ke detail pelaksanaan. Di Bangkok, Beliau
bersama pasukan ikut menyerbu ke kabin. Kalau sampai ada peluru nyasar,
Beliau kena, pasti saya yang bakal digantung."

Tidak bisa dilarang?

"Ah you kan tahu. Mana mungkin ada yang berani menentang keinginannya," kata
Sintong.

BERANI bertindak tegas kalau merasa benar, meski dia juga sadar bahwa
tindakannya bisa tidak populer dan mungkin akan merugikan citra pribadinya,
tidak pernah dia hiraukan. Tentang peristiwa di Bangkok, dia menjawab,
"Tugas seorang pemimpin bersama anak buah. Bagaimana mungkin saya diam saja,
sementara para prajurit menyabung nyawa, berkorban membela kehormatan bangsa
dan negara?"

Kebersamaan dengan anak buah salah satu ciri keteladanan Pak Benny. Anak
buah yang sudah bersama-sama ikut bertempur bersama dirinya, sejak terjun
dari udara di Pekanbaru sampai mendarat pakai sampan di Wori, Sulawesi
Utara. Mulai pertempuran kota di Medan (Sumatera Utara) hingga perang
gerilya di tengah belukar Merauke (Papua) dan hutan di Sarawak (Malaysia).
Kebersamaan tersebut tidak pernah terputus, khususnya kepada anak dan
keluarga anak buahnya yang gugur dalam penugasan. Mereka tetap memperoleh
simpati dan empatinya secara pribadi, berikut santunan serta bimbingan.

Abdurrahman Wahid yang akrab dengan sebutan Gus Dur adalah salah seorang
teman dekat Pak Benny meski datang dari spektrum serta latar belakang
berbeda dan kebetulan mereka sama-sama senang membaca. Di tengah kesibukan
masing-masing, dulu mereka sering bertemu berjam-jam hanya untuk membahas
novel- novel spionase, semisal karya John Le Carre, Frederick Forsythe, dan
Len Deighton.

Tentang sosok Pak Benny, Gus Dur menilai dia punya integritas politik lentur
tetapi utuh serta wajah ganda sisi, multifaceted, dari kepribadiannya. Hal
tersebut menampakkan bagian integral dari kehidupannya sebagai anak manusia
sekaligus sosok militer. Bahwa kalaupun kemudian dia hanya berangkat dari
kehidupan militer, Pak Benny memiliki cakrawala pandangan luas dan
menyeluruh. . Sebagai perwira intelijen, dia selalu dituntut mengetahui
banyak hal dan menguasai banyak masalah, terutama latar belakang seorang
yang diajaknya bicara.

Meskipun bisa dekat dan mengaku banyak segi positif yang bisa dipetik dari
Pak Benny-dalam lingkungan militer dan juga dalam penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya pada dasawarsa 1980-an-Gus Dur mengaku nuraninya
tetap terusik ketika Pak Benny melaksanakan pembersihan para eks residivis
lewat kebijakan penembakan misterius.

Sebagai seseorang yang selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia, Gus Dur
tidak bisa menerima kebijakan tersebut sebagai keharusan. Dalam
pandangannya, mereka yang telah menjalani hukuman, betapa tidak
proporsionalnya hukuman yang dijatuhkan, tetap tidak bisa dihukum untuk
kedua kalinya, tanpa pengadilan ulang dan pengadilan lanjutan.

LAHIR di Cepu pada 2 Oktober 1932, garis keturunan Pak Benny perpaduan dua
latar belakang. Ayahnya, Raden Bagus Moerdani Sosrodirdjo, keturunan Kiai
Suleman, pengajar agama Islam dari Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Ibunya, Jeanne Roech, keturunan Jerman.

Tanggal kelahiran Pak Benny berlambang rasi Libra, gambar timbangan. Tentang
ini dia menyebutkan, "Pemilik rasi Libra bukan timbangan statis. Orang Libra
selalu diam, tidak pernah menunjukkan emosi. Kalau menangis tidak berteriak,
hanya keluar air mata. Kalau marah, tidak terlihat di wajah, tetapi dalam
hati."

Dalam penanggalan China, hari kelahirannya bernaung dalam shio monyet.
Menurut Pak Benny, ".... Monyet itu merengut atau tertawa, raut wajahnya
selalu sama."

Dalam penampilan selalu misterius sekaligus otomatis menebarkan citra
membingungkan untuk diamati, sulit sekali menjawab pertanyaan siapakah
Benny.

Sebagai perwira TNI yang mengabdikan dirinya hampir selama 40 tahun dalam
kehidupan militer, di mana sebagian besar dia jalani dalam dunia intelijen
yang sudah jelas tidak akan pernah bisa transparan, sampai kapan pun jejak
kehidupannya akan selalu diselimuti misteri.

Pada kunjungan pertama ke Jakarta, Paul Keating, waktu itu Perdana Menteri
Australia, datang ke Markas Besar ABRI. Selama hampir dua jam Keating
menjelaskan panjang lebar kebijakan luar negeri Australia, khususnya ke
negara tetangga terdekatnya, Indonesia.

Tiba-tiba Pak Benny mengacungkan tangan sambil berkata, "Wow, ternyata kita
berdua punya persamaan...."

Mata Keating langsung berbinar mendengar komentar tersebut. Tetapi belum
sempat senyuman menghiasi wajahnya, Pak Benny melanjutkan, "Persamaannya,
istri kita sama-sama bekas pramugari."

Saya menyaksikan wajah Keating berubah luruh. Memang, tampak luar sosok Pak
Benny pendiam, serius, dan mahal senyum. Sangat berlawanan kalau dia dalam
lingkungan kecil dan di antara rekan dekat serta sahabatnya. Pak Benny
justru seorang pembicara hangat, memikat, serta sering melontarkan lelucon
cerdas yang selalu multitafsir.

Dengan pribadi sarat pertimbangan serta suasana kehidupan masyarakat majemuk
Indonesia, maka nama Pak Benny muncul sebagai mitos. Oleh karena mitos,
menjadi tidak relevan apakah anggapan dari luar tersebut benar atau tidak.
Apakah perkiraan terhadap jati dirinya benar atau salah.

Tidak bisa lain, sebab bayangan senantiasa lebih besar daripada kenyataan.
Apalagi untuk sosok Pak Benny, yang hanya dari namanya saja terasa sinonim
dengan dunia intelijen, penuh serba kemungkinan sekaligus ketidakpastian, di
mana antara bayang-bayang dan kelabu saling menutupi.

Kepergian Pak Benny merupakan kehilangan yang sangat, terutama bagi Tentara
Nasional Indonesia. Dialah salah satu prajurit terbaik yang pernah dimiliki
TNI. Salah satunya dicerminkan dari penghargaan Bintang Sakti, bintang
pengabdian tertinggi seorang prajurit yang disematkan langsung oleh Presiden
Soekarno. Sepantasnyalah apabila Markas Besar TNI memerintahkan semua markas
di jajaran TNI untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari
untuk menghormati kepergian almarhum.

Selamat Jalan Pak Benny.

Jumat, 28 Maret 2008

SEJARAH USMAN DAN HARUN


Usman dan Harun (01)

Masa Kecil Usman alias Janatin

Pada masa penjajahan Jepang, di desa Tawangsari Kelurahan Jatisaba Kabupaten Purbalingga, lahirlah seorang bayi bernama Janatin, tepatnya pada hari Minggu Kliwon tanggal 18 Maret 1943 pukul 10.00 pagi. Janatin lahir dari keluarga Haji Muhammad Ali dengan Ibu Rukiah yang kemudian dikenal dengan nama Usman, salah seorang Pahlawan Nasional.


Hari, bulan dan tahun berjalan terus, Janatin terus tumbuh menjadi besar dan kemudian memasuki lingkungan yang lebih luas sesuai dengan pertumbuhannya dan ia mulai menunjukkan identitas dirinya sebagai Janatin. Orangnya pendiam lagi tidak sombong, memang demikian pembawaannya. Pergaulannya luas, bisa bergaul dengan teman semua lapisan yang sebaya dengannya. Tidak merasa rendah diri walaupun anak desa, dan tidak sombong dengan orang yang lebih lemah dari dia, sehingga ia mempunyai teman banyak.

Sebagai kepala keluarga Haji Muhammad Ali selalu menerangkan agama sebagai landasan hidup. Demikian pula dalam bidang pendidikan sebagai dasarnya beliau menekankan pada pendidikan agama. Tujuannya tidak lain agar kelak putra-putrinya menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa serta tahu membalas jasa orang tua. Karena itu tidaklah mengherankan bila putra-putri Haji Muhammad Ali sedikit banyak mengetahui soal keagamaan dan semua dapat membaca Al Qur'an dengan baik.

Setelah menamatkan Sekolah Dasar, Janatin meneruskan ke SMP kota Purbalingga, yang jaraknya kurang lebih sekitar tiga kilometer dari tempat tinggalnya. Ia masuk di sekolah swasta SMP Budi Bhakti. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang mendapatkan simpati di kalangan masyarakat Purbalingga, karena prestasinya sejajar dengan sekolah negeri.
Walaupun Janatin dari kalangan Islam, namun tidak ada halangan dari orang tuanya untuk memasuki sekolah tersebut. Karena tujuan masuk sekolah bukan untuk belajar agama tetapi untuk menuntut ilmu pengetahuan yang akan dipergunakan sebagai bekal hidup. Sedangkan masalah ilmu agama sudah diperoleh di rumah yang diajarkan oleh orang tuanya sendiri.

Sebagai anak desa Janatin tidak lupa akan tugas yang diberikan oleh orang tuanya, yaitu membantu orang tuanya. Ia turut bekerja untuk meringankan beban orang tua, seperti membersihkan kebun, membantu bekerja di sawah dalam mengolah sawahnya, kemudian turut membantu memetik hasil kebun serta memikulnya ke rumah. Setiap hari ia membawa sabit dan menjunjung keranjang untuk mencari makanan binatang piaraan. Pekerjaan demikian sudah menjadi kewajiban yang dijalankan setiap hari, sehingga menjadikan dirinya seorang yang tabah dan ulet.

Di samping itu Janatin ikut juga memperkuat olah raga bulu tangkis di desanya. Permainan bulu tangkis ini diperoleh dari perkenalan dengan anak-anak kota. Untuk arena permainan telah dikorbankan sepetak tanah miliknya yang terletak di dekat rumahnya. Dengan dibukanya lapangan ini banyak mengundang pemuda-pemuda di desanya, bahkan lebih luas lagi sampai ke kota.

Memasuki Kehidupan Militer

Dengan dikomandokannya Trikora pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta oleh Presiden Sukarno, mulailah konfrontasi total terhadap Belanda. Guna menyelenggarakan operasi-operasi militer untuk merebut Irian Barat, maka pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden/Pangti ABRI/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan keputusan No. 1 tahun 1962 membentuk Komando Mandala yang bertanggung jawab atas segala kegiatan Operasi ABRI serta Sukarelawan.

Masalah Trikora berkumandang di seluruh pelosok tanah air, telah memanggil segenap lapisan masyarakat dan membangkitkan hati semua pemuda untuk menyumbangkan tenaga dalam pembebasan wilayah yang masih dikuasi Belanda. Kesempatan inilah membuka pintu bagi Janatin untuk memasuki dinas militer, seperti pemuda lainnya dari pelosok tanah air. Sehingga dalam waktu yang singkat berbondong-bondong pemuda Indonesia mendaftarkan diri untuk menjadi Sukarelawan, dan salah seorang yang terpanggil adalah Janatin.

Pada saat itu Janatin sudah menduduki SMP kelas tiga ialam kwartal terakhir. Karena panggilan hatinya yang bergelora ingin menjadi ABRI, maka setelah menyelesaikan pendidikan, Janatin mendaftarkan menjadi ABRI. Sebelumnya ia memang nengagumi angkatan Bersenjata. Hal ini terlihat dari perhatian fanatin kepada kakaknya yang berdinas di Militer. Bila kakaknya pulang, selalu mendapat perhatian dari Janatin, baik dari pakaian seragam, sikap, dan geraknya. Begitu pula setiap melihat anggota ABRI baik tetangga se desa ataupun kenalan selalu menjadi perhatian baginya. pengaruh inilah yang mengilhami dirinya sehingga ingin menjadi seorang militer.

Semula maksud Janatin tidak mendapat restu dari bapaknya, orangtuanya mempunyai pandangan lain, menghendaki agar anaknya melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Haji Muhammad Ali mengharapkan anaknya tidak memasuki dinas militer, beliau sudah merasa cukup karena ketiga kakaknya sudah menjadi ABRI, sedangkan Janatin biarlah mencari pekerjaan yang lain. Namun karena kemauan keras yang tidak dapat dibendung, ia berusaha mendapatkan restu dari ibunya. Akhirnya Janatin mendapat restu dari orangtuanya untuk memasuki dinas militer.

Janatin pada tahun 1962 mulai mengikuti pendidikan militer di Malang yang dilaksanakan oleh Korps Komando Angkatan Laut. Pendidikan ini dilaksanakan guna pengisian personil yang dibutuhkan dalam menghadapi Trikora. Karena itulah Korps Komando Angkatan Laut membuka Sekolah Calon Tamtama (Secatamko), lamanya pendidikan enam bulan dan Janatin termasuk siswa angkatan ke – X . Setiap siswa selesai melakukan pendidikan dan latihan pendidikan amphibi dan perang hutan. Pendidikan ini merupakan kekhususan bagi setiap anggota Korps Komando Angkatan Laut.

Pendidikan Calon Tamtama dilaksanakan bertingkat. Pendidikan dasar militer dilakasanakan di Gunung Sahari. Pendidikan Amphibi dilaksanakan di pusat latihan Pasukan Pendarat di Semampir. Pada akhir seluruh pendidikan diadakan latihan puncak di daerah Purboyo Malang selatan dalam bentuk Suroyudo. Di sinilah letaknya pembentukan disiplin yang kuat, ketangguhan yang luar biasa, keberanian yang pantang menyerah serta membentuk kemampuan fisik di segala medan dan cuaca, merupakan Pembentukan Pendidikan Korps Komando Angkatan Laut. Semua pendidikan ini telah diikuti oleh Janatin sampai selesai, sehingga ia berhak memakai baret ungu.

Berkat pendidikan dan latihan yang diperoleh selama memasuki militer, Janatin tubuhnya menjadi tegap, kekar, pikirannya tambah jernih, korek, yang lebih penting lagi ia terbina dalam disiplin yang tinggi, patuh, taat dan tunduk kepada perintah atasannya.


Janatin pada bulan April 1964 dengan teman-temannya mengikuti latihan tambahan khusus di Cisarua Bogor selama satu bulan. Mayor KKO Boedi Prayitno dan Letnan KKO Harahap masing-masing sebagai Komandan latihan dan wakilnya. Dalam pendidikan khusus ini dibagi dalam 13 Tim, sedangkan materi yang diberikan antara lain: Inteljen, kontra inteljen, sabotase,Demolisi, gerilya, perang hutan dan lain-lain. Dengan bekal dari latihan di Cisarua ini, diharapkan dapat bergerak di daerah lawan untuk mengemban tugas nanti.

Usman dan Harun (02)

Masa Kecil Harun alias Tohir

Sekitar 15 kilometer sebelah utara kota Pahlawan, Surabaya, tampaklah dari kejauhan sebuah pulau kecil yang luasnya kira kira 4 kilometer persegi. Di pulau ini terdapat tempat yang dianggap keramat, karena di pulau inilah pernah dimakamkan seorang kyai yang sangat sakti dan terkenal di masa itu, yaitu Kyai Bawean. Sehingga tempat yang keramat ini terkenal dengan nama Keramat Bawean.

Pada saat tentara Jepang menginjakkan kakinya di Pulau Bawean tanggal 4 April 1943, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama Tohir bin Said. Tohir adalah anak ketiga dari Pak Mandar dengan ibu Aswiyani, yang kemudian terkenal menjadi Pahlawan Nasional dengan nama Harun.

Sejak dibangku Sekolah Dasar ia tertarik dengan kulit-kulit kerang yang terdampar di pasir-pasir tepian pantai daripada memperhatikan pelajaran di sekolah, hal ini akibat seringnya Tohir pergi ke pantai laut. Perahu-perahu yang setiap hari mencari nafkah di tengah-tengah lautan, merupakan daya tarik tersendiri bagi Tohir. Dengan jalan mencuri-curi ia sering menyelinap ikut berlayar bersama perahu-perahu nelayan ke tengah lautan. Bahkan ia sering tidak masuk sekolah ataupun pulang ke rumah, karena mengikuti perahu-perahu layar mencari ikan di tengah laut beberapa hari lamanya.

Setelah menamatkan Sekolah Dasar, tanpa sepengetahuan keluarganya, ia berhasil melanjutkan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di Jakarta sampai mendapatkan ijazah. Sejak ia menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama untuk biaya hidup dan sekolah ia menjadi pelayan kapal dagang, di samping itu tetap rajin belajar mengikuti pelajaran-pelajaran di sekolahnya dengan jalan mengutip kawan-kawannya.

Ia telah menjelajahi beberapa Negara, tetapi yang paling dikenal dan hafal daerahnya adalah daratan Singapura. Kadang kadang ia berhari-hari lamanya tinggal di Pelabuhan Singapura. Dan sering pula ia ikut kapal mondar-mandir antara Singapura – Tanjung Pinang.
Seorang pemuda Tohir tidak terlepas dari persoalan dunia percintaan. Pada masa remaja kira-kira umur 21 tahun ia pernah jatuh cinta dengan seorang gadis idaman hatinya yang bernama Nurlaila.

Tanpa diketahui oleh Samsuri kakak sulungnya sebagai pengganti ayahnya yang sudah meninggal, Tohir dan gadis tersebut telah sepakat untuk kemudian hari membina suatu rumah tangga yang bahagia. Sebagai tanda janjinya gadis tersebut dilingkarkan cicin emas di jari manisnya.


Setelah mendengar kabar, bahwa gadis idaman yang pernah ditandai cincin akan melangsungkan perkawinan dengan seorang pemuda pilihan orang tua sang gadis, Tohir merasa tersinggung. Pada saat di rumah sang gadis sedang ramai-ramainya tamu dan kedua mempelai sudah hampir dihadapkan penghulu, tiba-tiba Tohir dan kawan-kawannya datang menghentikan Upacara perkawinan. Dengan nada marah-marah, ia bersikeras menghendaki agar Upacara perkawinan itu dibatalkan.

Karma penghulu mendapat ancaman dari Tohir, akhirnya lari ke rumah kakaknya yang dekat tempat Upacara perkawinan bekas pacar Tohir di Jalan Jember Lorong 61 Tanjung Priok, minta tolong untuk mencegah tindakan Tohir. Akhirnya Samsuri terpaksa ikut campur dalam masalah perkawinan ini. Ternyata setelah diusut, barulah diketahui bahwa gadis tersebut secara diam-diam dengan Tohir melakukan tunangan.


Sebagai seorang anak yang menghormati orang tua maupun saudaranya yang lebih tua, akhirnya ia menuruti apa yang dikatakan kakaknya untuk mengurungkan niatnya, tapi dengan syarat barang-barang perhiasan dan uang yang sudah diberikan kepada gadis tersebut dikembalikan. Sampai saat ini gadis tersebut masih hidup rukun dengan suami dan anaknya, di bilangan Tanjung Priok.

Memasuki Dunia Militer

Dalam Tim Brahma I dibawah Letnan KKO Paulus Subekti Tohir memulai kariernya sebagai anggota KKO AL. Ia mulai masuk Angkatan Laut bulan Juni 1964, dan ditugaskan dalam Tim Brahma I di Basis II Ops A KOTI. Di sini ia bertemu dengan Usman alias Janatin bin H. Mohammad ALI dan Gani bin Aroep. Ketiga pemuda ini bergaul cukup erat, lebih-lebih setelah mereka sering ditugaskan bersama sama.

Setelah Tohir memasuki Sukarelawan ALRI, yang tergabung dalam Dwikora dengan pangkat Prajurit KKO II (Prako II) dan mendapat gemblengan selama lima bulan, di daerah Riau daratan, pada tanggal 1 Nopember 1964. Kemudian pada tanggal 1 April 1965 dinaikkan pangkatnya menjadi Kopral KKO I (Kopko I).

Selesai mendapatkan gemblengan di Riau daratan sebagai Sukarelawan Tempur bersama-sama rekan-rekan lainnya, ia dikirim ke Pulau Sambu. Hingga beberapa lamanya rombongan Tohir dan kawan-kawannya yang tergabung dalam kesatuan A KOTI Basis X melaksanakan tugas di Pulau Sambu. Tohir sendiri telah ke Singapura beberapa kali, dan sering mendarat ke Singapura menyamar sebagai pelayan dapur, ia ke sana menggunakan kapal dagang yang sering mampir ke Pulau Sambu untuk mengisi bahan bakar.

Tohir yang mirip-mirip Cina itu ternyata sangat menguntungkan dalam penyamarannya. Bahasa Inggeris, Cina dan Belanda yang dikuasai dengan lancar telah membantu pula dalam kebebasannya untuk bergerak dan bergaul di tengah-tengah masyarakat Singapura yang mayoritas orang Cina.

Usman dan Harun (03)

Pertemuan Dalam Operasi Dwikora

Baru saja TNI AL selesai melaksanakan tugas-tugas operasi dalam mengembalikan Irian Barat ke wilayah kekuasaan RI, timbul lagi masalah baru yang harus dihadapi oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan dikomandokannya Dwikora oleh Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta. Komando tersebut mendapat sambutan dari lapisan masyarakat, termasuk ABRI. Hal ini terbukti bahwa rakyat Indonesia berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Dwikora sehingga mencapai jumlah 21 juta sukarelawan.

Penggunaan tenaga sukarelawan ini membawa dampak yang besar. Dilihat dari segi positifnya memang sangat menguntungkan, karena perang yang akan dihadapi tidak secara frontal, sehingga akan membingungkan pihak lawan. Tetapi dari segi negatif kurang menguntungkan, karena apabila sukarelawan itu tertangkap ia akan diperlakukan sebagai penjahat biasa, jadi bukan sebagai tawanan perang di lindungi oleh UU Perang. Jika Sukarelawan itu tertangkap oleh lawan, resikonya disiksa secara kejam.

Untuk melindungi Operasi tersebut di atas, KOTI kemudian memutuskan untuk mempergunakan tenaga-tenaga militer lebih banyak guna mendampingi sukarelawan-sukarelawan tersebut, memperkuat kekuatan Sukarelawan Indonesia di daerah musuh.
Untuk mendukung Operasi A. KKO AL mengirimkan 300 orang anggota yang terdiri dari Kopral sampai Perwira. Sebelum melaksanakan Operasi A. mereka diwajibkan mengikuti pendidikan khusus di Cisarua Bogor. Selesai latihan mereka dibagi dalam tim-tim dengan kode Kesatuan Brahma dan ditugaskan di daerah Semenanjung Malaya (Basis II) dan di Kalimantan Utara (Basis IV). Yang dikerahkan di Semenanjung Malaya terdiri dari tim Brahma I beranggotakan 45 orang, tim Brahma II 50 orang, tim Brahma III 45 orang dan tim Brahma V 22 orang.

Semenanjung Malaya (Basis II) dibagi beberapa Sub. Basis:
1. Sub Basis X yang berpangkalan di P. Sambu dan Rengat dengan sasaran Singapura.
2. Sub. Basis Y dengan sasaran Johor bagian barat dan Pangkalan Tanjung Balai.
3. Sub. Basis T yang berpangkalan di P. Sambu dengan sasaran Negeri Sembilan, Selangor dan Kuala Lumpur.
4. Sub. Basis Z dengan sasaran Johor bagian timur.
Sedangkan Tugas Basis II:
1. Mempersiapkan kantong gerilya di daerah lawan.
2. Melatih gerilyawan dari dalam dan mengembalikan lagi ke daerah masing-masing.
3. Melaksanakan demolision, sabotase pada obyek militer maupun ekonomis.
4. Mengadakan propaganda, perang urat syarat
5. Mengumpulkan informasi.
6. Melakukan kontra inteljen.

Dalam operasi ini Janatin/Usman melakukan tugas ke wilayah Basis II. A Koti, ia berangkat menuju Pulau Sambu sebagai Sub Basis dengan menggunakan kapal jenis MTB. Kemudian menggabungkan diri dengan Tim Brahma I di bawah pimpinan Kapten Paulus Subekti yang pada waktu itu menyamar dengan pangkat Letkol KKO - AL dan merangkap menjadi Komandan Basis X yang berpangkalan di Pulau Sambu Riau. Ketika Usman menggabungkan dengan kawan-kawannya,, ia berkenalan dengan Harun dan Gani bin Arup, mereka ini merupakan sahabat yang akrab dalam pergaulan. Dalam tim ini Usman dan Harun mendapat tugas yang sama untuk mengadakan sabotase di Singapura.

Meskipun Usman bertindak sebagai Komandan Tim dan usianya sedikit lebih tua dari Harun, demikian pula ia lebih banyak berpengalaman dalam bidang militer, tetapi ia mengakui masih kurang pengalaman dalam wilayah Singapura. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugasnya di Singapura, ia lebih banyak memberikan informasi kepada Usman. Harun telah hafal betul tentang keadaan dan tempat-tempat di Singapura, karena Harun pernah tinggal di sana. Tetapi sebagai seorang militer, mereka masing-masing telah mengetahui apa tugas-tugas mereka sebagai Komandan dan bawahan.

. Karena ketatnya penjagaan daerah lawan dan sukar ditembus maka satu-satunya jalan yang ditempuh ialah menyamar sebagai pedagang yang akan memasukkan barang dagangannya ke wilayah Malaysia dan Singapura. Usaha tersebut kelihatan membawa hasil yang memuaskan, karena dengan jalan ini anggota sukarelawan berhasil masuk ke daerah lawan yang kemudian dapat memperoleh petunjuk yang diperlukan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Dari penyamaran sebagai pedagang ini banyak diperoleh data yang penting bagi para Sukarelawan untuk melakukan kegiatan. Dengan taktik demikian para Sukarelawan telah berhasil menyusup beberapa kali ke luar masuk daerah musuh.

Untuk memasuki daerah musuh agar tidak menimbulkan kecurigaan lawan, para sukarelawan menggunakan nama samaran, nama di sini disesuaikan dengan nama-nama dimana daerah lawan yang dimasuki. Demikian Janatin mengganti namanya dengan Usman dan disambungkan dengan nama orang tuanya Haji Muhammad Ali. Sehingga nama samaran ini lengkapnya Usman bin Haji Muhammad Ali. Sedangkan Tohir menggunakan nama samaran Harun, dan lengkapnya Harun bin Said. Dengan nama samaran ini Usman, Harun dan Gani melakukan penyusupan ke daerah Singapura untuk melakukan penyelidikan dan pengintaian tempat-tempat yang dianggap penting.

Sedangkan di front belakang telah siap siaga kekuatan tempur yang setiap saat dapat digerakkan untuk memberikan pukulan terhadap lawan. Kekuatan ini terus bergerak di daerah sepanjang perbatasan untuk mendukung para Sukarelawan yang menyusup ke daerah lawan dan apabila perlu akan memberikan bantuan berupa perlindungan terhadap Sukarelawan yang dikejar oleh musuh di daerah perbatasan.

Usman dan Harun (05)

Gagal Kembali ke Pangkalan

Usaha ketiga Sukarelawan kembali ke pangkalan dengan jalan masing-masing. Tetapi Usman yang bertindak sebagai pimpinan tidak mau melepas Harun berjalan sendiri, hal ini karena Usman sendiri belum faham betul dengan daerah Singapura, walaupun ia sering memasuki daerah inf. Karena itu Usman meminta kepada Harun supaya mereka bersama-sama mencari jalan keluar ke pangkalan.

Untuk menghindari kecurigaan terhadap mereka berdua, mereka berjalan saling berjauhan, seolah-olah kelihatan yang satu dengan yang lain tidak ada hubungan sama sekali. Namun walaupun demikian tetap tidak lepas dari pengawasan masing-masing dan ikatan mereka dijalin dengan isyarat tertentu. Semua jalan telah mereka tempuh, namun semua itu gagal.

Dengan berbagai usaha akhirnya mereka berdua dapat memasuki pelabuhan Singapura, mereka dapat menaiki kapal dagang Begama yang pada waktu itu akan berlayar menuju Bangkok. Kedua anak muda itu menyamar sebagai pelayan dapur. Sampai tanggal 12 Maret 1965 mereka berdua bersembunyi di kapal tersebut.

Tetapi pada malam itu, waktu Kapten kapal Begama mengetahui ada dua orang yang bukan anak buahnya berada dalam kapal, lalu mengusir mereka dari kapal. Kalau tidak mau pergi dari kapalnya, akan dilaporkan kepada Polisi. Alasan mengusir kedua pemuda itu karena takut diketahui oleh Pemerintah Singapura, kapalnya akan ditahan. Akhirnya pada tanggal 13 Maret 1965 kedua Sukarelawan Indonesia keluar dari persembunyiannya.

Usman dan Harun terus berusaha mencari sebuah kapal tempat bersembunyi supaya dapat keluar dari daerah Singapura. Ketika mereka sedang mencari-cari kapal, tiba-tiba tampaklah sebuah motorboat yang dikemudikan oleh seorang Cina. Daripada tidak berbuat akan tertangkap, lebih baik berbuat dengan dua kemungkinan tertangkap atau dapat lolos daribahaya.

Akhirnya dengan tidak pikir panjang mereka merebut motorboat dari pengemudinya dan dengan cekatan mereka mengambil alih kemudi, kemudian haluan diarahkan menuju ke Pulau Sambu. Tetapi apadaya manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan. Sebelum mereka sampai ke perbatasan peraian Singapura, motorboatnya macet di tengah laut. Mereka tidak dapat lagi menghindari diri dari patroli musuh, sehingga pada pukul 09.00 tanggal 13 Maret 1965 Usman dan Harun tertangkap di bawa ke Singapura sebagai tawanan.

Mereka menyerahkan diri kepada Tuhan, semua dihadapi walau apa yang terjadi, karena usaha telah maksimal untuk mencari jalan. Nasib manusia di tangan Tuhan, semua itu adalah kehendak-Nya. Karena itulah Usman dan Harun tenang saja, tidak ada rasa takut dan penyesalan yang terdapat pada diri mereka.

Sebelum diadili mereka berdua mendekam dalam penjara. Mereka dengan sabar menunggu saat mereka akan dibawa ke meja hijau. Alam Indonesia telah ditinggalkan, apakah untuk tinggal selama-lamanya, semua itu hanya Tuhan yang Maha Mengetahui.

Usman dan Harun (06)

Tabah Sampai Akhir

Proses pengadilan: Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara Singapura sebagai tawanan dan mereka dengan tabah menunggu prosesnya. Pada tanggal 4 Oktober 1965 Usman dan Harun di hadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High Court) Singapura dengan J. Chua sebagai Hakim. Usman dai Harun dihadapkan ke Sidang Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dengan tuduhan:


1. Menurut ketentuan International Security Act Usman dan Harun telah melanggar Control Area.
2. Telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.
3. Telah menempatkan alat peledak dan menyalakannya.

Dalam proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan pendahuluan, sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964. Dalam Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) kedua tertuduh Usman dan Harun telah menolak semua tuduhan itu. Hal ini mereka lakukan bukan kehendak sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu mereka meminta kepada sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang (Prisoner of War).

Namun tangkisan tertuduh Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan yang layak dari sidang majelis. Hakim telah menola permintaan tertuduh, karena sewaktu kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer. Persidangan berjalan kurang lebih dua minggu, pada tanggi 20 Oktober 1965 Sidang Pengadilan Tinggi (Hight Court) yan dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan bahwa Usman da Harun telah melakukan sabotase dan mengakibatkan meninggalnya tiga orang sipil. Dengan dalih ini, kedua tertuduh dijatuhi hukuman mati.

Pada tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun mengajukan naik banding ke Federal Court of Malaysia dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah dan J.J. Amrose. Pada tanggal 5 Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak perkara naik banding Usman dan Harun. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967 perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London. Dalam kasus ini Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai pembela yaitu Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di Singapura. Usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu gagal. Surat penolakan datang pada tanggal 21 Mei 1968.

Setelah usaha naik banding mengenai perkara Usman dan Harun ke Badan Tertinggi yang berlaku di Singapura itu gagal, maka usaha terakhir adalah untuk mendapat grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Permohonan ini diajukan pada tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan kedua prajurit oleh Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan.

Kedutaan RI di Singapura diperintahkan untuk mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat dijalankan guna memperoleh pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua sukarelawan Indonesia tersebut. Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar Negeri Singapura membantu usaha yang dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun mengalami kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968 Menlu Singapura menyatakan bahwa permohonan grasi atas hukuman mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden Singapura.

Pemerintah Indonesia dalam saat-saat terakhir hidup Usman dan Harun terus berusaha mencari jalan. Pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden Suharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropanolo ke Singapura untuk menyelamatkan kedua patriot Indonesia. Pada saat itu PM Malaysia Tengku Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura agar mengabulkan permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap pada pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip tertib hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua orang KKO Usman dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Ok tober 1968 pukul 06.00 pagi waktu Singapura.

Permintan terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua mereka ini dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum dengan orang tuanya dan sanak farmilinya. Permintaan ini juga ditolak oleh Pemerintah Singapura tetap pada keputusannya, melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun.

Pesan terakhir.
Waktu berjalan terus dan sampailah pada pelaksanaan hukuman, dimana Pemerintah Singapura telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat pukul 06.00 pagi Dunia merasa terharu memikirkan nasib kedua patriot Indonesia yang gagah perkasa, tabah dan menyerahkan semua itu kepada pencipta - Nnya.

Seluruh rakyat Indonesia ikut merasakan nasib kedua patriot ini. Demikian juga dengan Pemerintah Indonesia, para pemimpin terus berusaha untuk menyelesaikan masalah ini. Sebab merupakan masalah nasional yang menyangkut perlindungan dan pem belaan warga negaranya. Satu malam sebelum pelaksanaan hukuman, hari Rabu sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen TIN Tjokropranolo sebagai utusan pribadi Presiden Suharto datang ke penjara Changi.

Dengan diantar Kuasa Usaha Republik Indonesia di Singapura Kolonel A. Ramli dan didampingi Atase Angkatan Laut Letkol (G) Gani Djemat SH, dapat berhadapan dengan Usman dan Harun di balik terali besi yang menyeramkan pada pukul 16.00. Tempat inilah yang telah dirasakan oleh Usman dan Harun selama dalam penjara dan di tempat ini pula hidupnya berakhir.

Para utusan merasa kagum karena telah sekian tahun meringkuk dalam penjara dan meninggalkan tanah air, namun dari wajahnya tergambar kecerahan dan kegembiraan, dengan kondisi fisik yang kokoh dan tegap seperti gaya khas seorang prajurit KKO AL yang tertempa. Tidak terlihat rasa takut dan gelisah yang membebani mereka, walaupun sebentar lagi tiang gantungan sudah menunggu.

Keduanya segera mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat serta memberikan laporan lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH memperkenalkan Brigjen Tjokropranolo sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap yang demikian membuat Brigjen Tjokropranolo hampir tak dapat menguasai diri dan terasa berat untuk menyampaikan pesan. Pertemuan ini membawa suasana haru, sebagai pertemuan Bapak dan Anak yang mengantarkan perpisahan yang tak akan bertemu lagi untuk selamanya.

Hanya satu-satunya pesan yang disampaikan adalah bahwa Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka berdua terhadap Negara. Sebagai manusia beragama, Brigjen Tjokropranolo mengingatkan kembali supaya tetap teguh, tawakal dan berdoa, percayalah bahwa Tuhan selalu bersama kita. Kolonel A. Rambli dalam kesempatan itu pula menyampaikan, bahwa Presiden Suharto mengabulkan permintaan mereka untuk dimakamkan berdampingan di Indonesia.

Sebelum berpisah Usman dan Harun dengan sikap sempurna menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden RI Jenderal Suharto atas usahanya, kepada Jenderal Panggabean, kepada mahasiswa dan pelajar, Sarjana Hukum, dan Rakyat Indonesia yang telah melakukan upaya kepadanya. Pertemuan selesai, Sersan KKO Usman memberikan aba-aba, dan keduanya memberi hormat.

Usman dan Harun (07)

Menjalani Hukuman Mati

Pada saat ketiga pejabat Indonesia meninggalkan penjara Changi, Usman dan Harun kembali masuk penjara, tempat yang tertutup dari keramaian dunia. Usman dan Harun termasuk orang-orang yang teguh terhadap agama. Mereka berdua adalah pemeluk agama Islam yang saleh. Di alam yang sepi itu menambah hati mereka semakin dekat dengan penciptaNya. Karena itu empat tahun dapat mereka lalui dengan tenang. Mereka selalu dapat tidur dengan nyenyaknya walaupun pelaksanaan hukuman mati semakin dekat.

Pemerintah dan rakyat Indonesia mengenang kembali perjuangan kedua pemuda ini dan dengan keharuan ikut merasakan akan nasib yang menimpa mereka. Sedangkan Usman dan Harun dengan tenang menghuni penjara Changi yang sepi dan suram itu. Mereka menghuni ruangan yang dibatasi oleh empat dinding tembok, sedangkan di luar para petugas terus mengawasi dengan ketat. Usman dan Harun yang penuh dengan iman dan taqwa dan semangat juang yang telah ditempa oleh Korpsnya KKO AL menambah modal besar untuk memberikan ketenangan dalam diri mereka yang akan menghadapi maut.

Di penjara Changi, pada hari itu udara masih sangat dingin Suasana mencekam, tetapi dalam penjara Changi kelihatan sibuk sekali. Petugas penjara sejak sore sudah berjaga-jaga, dan pada hari itu tampak lebih sibuk lagi.

Di sebuah ruangan kecil dengan terali-terali besi rangkap dua Usman dan Harun benar-benar tidur dengan pulasnya. Meskipun pada hari itu mereka akan menghadapi maut, namun kedua prajurit itu merasa tidak gentar bahkan khawatirpun tidak. Dengan penuh tawakal dan keberanian luar biasa mereka akan menghadapi tali gantungan.

Sikap kukuh dan tabah ini tercermin dalam surat-surat yang mereka tulis pada tanggal 16 Oktober 1968, yang tetap melambangkan ketegaran jiwa dan menerima hukuman dengan gagah berani. Betapa tabahnya mereka menghadapi kematian, hal in dapat dilihat dari surat-surat mereka yang dikirimkan kepada keluarganya:

Sebagian Surat Usman yang berbunyi sebagai berikut:
Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan maka perlu anak anda menghaturkan berita duka kepangkuan Bunda sekeluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas anakanda telah diputus kan pada 17 Oktober 1968, hari Kamis 24 Rajab 1388.

Sebagian isi surat dari Harun sebagai berikut:
Bersama ini adindamu menyampaikan berita yang sangat mengharukan seisi kaum keluarga di sana itu ialah pada 14-10-1968 jam 10.00 pagi waktu Singapura rayuan adinda tetap akan menerima hukuman gantungan sampai mati.

Menghadapi Tiang Gantungan
Pukul 05.00 subuh kedua tawanan itu dibangunkan oleh petugas penjara, kemudian disuruh sembahyang menurut agamanya masing-masing. Sebenarnya tanpa diperintah ataupun dibangunkan Usman dan Harun setiap waktu tidak pernah melupakan kewajibannya untuk bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena sejak kecil kedua pemuda itu sudah diajar masalah keagamaan dengan matang.

Setelah melakukan sembahyang Usman dan Harun dengan tangan diborgol dibawa oleh petugas ke kamar kesehatan untuk dibius. Dalam keadaan terbius dan tidak sadar masing-masing urat nadinya dipotong oleh dokter tersebut, sehingga mereka berdua lumpuh sama sekali. Dalam keadaan ,lumpuh dan tangan tetap diborgol, Usman dan Harun dibawah petugas menuju ke tiang gantungan. Tepat pukul 06.00 pagi hari Kamis tanggal 17 Oktober 1968 tali gantungan kalungkan ke leher Usman dan harun.

Pada waktu itu pula seluruh rakyat Indonesia yang mengetahui bahwa kedua prajurit Indonesia digantung batang lehernya tanpa mengingat segi-segi kemanusiaan menundukkan kepala sebagai tanda berkabung. Kemudian mereka menengadah berdoa kepada Illahi semoga arwah kedua prajurit Indonesia itu mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Mereka telah terjerat di ujung tali gantungan di negeri orang, Jauh dari sanak keluarga, negara dan bangsanya.Mereka pergi untuk selama-lamanya demi kejayaan Negara, Bangsa dan Tanah Air tercinta.

Eksekusi telah selesai, Usman dan Harun telah terbujur, terpisah nyawa dari jasadnya. Kemudian pejabat penjara Changi keluar menyampaikan berita kepada para wartawan yang telah menanti dan tekun mengikuti peristiwa ini, bahwa hukuman telah dilaksanakan. Dengan sekejap itu pula tersiar berita ke seluruh penjuru dunia menghiasi lembaran mass media sebagai pengumuman terhadap dunia atas terlaksananya hukuman gantungan terhadap Usman dan Harun.

Bendera merah putih telah dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung. Sedangkan masyarakat Indonesia yang berada di Singapura berbondong-bondong datang membanjiri Kantor Perwakilan Indonesia dengan membawa karangan bunga sebagai tanda kehormatan terakhir terhadap kedua prajuritnya.

Begitu mendapat berita pelaksanaan eksekusi PemerintaH Indonesia mengirim Dr. Ghafur dengan empat pegawai KedutaaN Besar RI ke penjara Changi untuk menerima kedua jenazah iti dan untuk dibawa ke Gedung Kedutaan Besar RI untuk dise mayamkan. Akan tetapi kedua jenazah belum boleh dikeluarkan dari penjara sebelum dimasukkan ke dalam peti dan menunggu perintah selanjutnya dari Pemerintah Singapura.

Pemerintah Indonesia mendatangkan lima Ulama untuk mengurus kedua jenazah di dalam penjara Changi. Setelah jenazah di masukkan ke dalam peti, Pemerintah Singapura tidak mengizinkan Bendera Merah Putih yang dikirimkan Pemerintah Indonesia untuk di selubungkan pada peti jenazah kedua Pahlawan tersebut pada saat masih di dalam penjara. Pukul 10.30 kedua jenzah baru diizinkan dibawa ke Kedutaan Besar RI.

Usman dan Harun (08)

Penghormatan Terakhir dan Anugerah

Setelah mendapatkan penghormatan terakhir dari masya rakat Indonesia di KBRI, pukul 14.00 jenazah diberangkatkan ke lapangan terbang dimana telah menunggu pesawat TNI—AU. yang akan membawa ke Tanah Air.

Pada hari itu Presiden Suharto sedang berada di Pontianak meninjau daerah Kalimantan Barat yang masih mendapat gangguan dari gerombolan PGRS dan Paraku. Waktu Presiden diberitahukan bahwa Pemerintah Singapura telah melaksanakan hukuman gan tung terhadap Usman dan Harun, maka Presiden Suharto menyata kan kedua prajurit KKO-AL itu sebagai Pahlawan Nasional.

Pada pukul 14.35 pesawat TNI—AU yang khusus dikirim dari Jakarta meninggalkan lapangan terbang Changi membawa kedua jenazah yang telah diselimuti oleh dua buah bendera Merah Putih yang dibawa dari Jakarta. Pada hari itu juga, tanggal 17 Oktober 1968 kedua Pahlawan Usman dan Harun telah tiba di Tanah Air. Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu rakyat Indonesia menjemput kedatangannya dengan penuh haru dan cucuran air mata. Sepanjang jalan antara Kemayoran, Merdeka Barat penuh berjejal manusia yang ingin melihat kedatangan kedua Pahlawannya, Pahlawan yang membela kejayaan Negara, Bangsa dan Tanah Air.

Setibanya di lapangan terbang Kemayoran kedua jenazah Pahlawan itu diterima oleh Panglima Angkatan Laut Laksamana TNI R. Muljadi dan seterusnya disemayamkan di Aula Hankam Jalan Merdeka Barat sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Pada upacara penyerahan kedua jenazah Pahlawan ini menimbulkan suasana yang mengharukan. Di samping kesedihan yang meliputi wajah masyarakat yang menghadiri upacara tersebut, di dalam hati mereka tersimpan kemarahan yang tak terhingga atas perlakuan negara tetangga yang sebelumnya telah mereka anggap sebagai sahabat baik. Pada barisan paling depan terdiri dari barisan Korps Musik KKO—AL yang memperdengarkan musik sedih lagu gugur bunga, kemudian disusul dengan barisan karangan bunga.

Kedua peti jenazah tertutup dengan bendera Merah Putih yang ditaburi bunga di atasnya. Kedua peti ini didasarkan kepada Inspektur Upacara Laksamana TNI R. Mulyadi yang kemudian diserahkan kepada Kas Hankam Letjen TNI Kartakusumah di Aula Hankam. Di belakang peti turut mengiringi Brigjen TNI Tjokropranolo dan Kuasa Usaha RI untuk Singapura Letkol M. Ramli yang langsung mengantar jenazah Usman dan Harun dari Singapura. Suasana tambah mengharukan dalam upacara ini karena baik Brigjen Tjokropranolo maupun Laksamana R. Muljadi kelihatan meneteskan air mata.

Malam harinya, setelah disemayamkan di Aula Hankam mendapat penghormatan terakhir dari pejabat-pejabat Pemerintah, baik militer maupun sipil, Jenderal TNI Nasution kelihatan bersama pengunjung melakukan sembahyang dan beliau menunggui jenazah Usman dan Harun sampai larut malam.

Tepat pukul 13.00 siang, sesudah sembahyang Jum'at, kedua jenazah diberangkatkan dari Aula Hankam menuju ke tempat peristirahatan yang terakhir. Jalan yang dilalui iringan ini dimulai Jalan Merdeka Barat, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan Pasar Minggu dan akhirnya sampai Kalibata. Sepanjang jalan yang dilalui antara Merdeka Barat dan Kalibata, puluhan ribu rakyat berjejal menundukkan kepala sebagai penghormatan terakhir diberikan kepada kedua Pahlawannya. Turut mengiringi dan mengantar kedua jenazah ini, pihak kedua keluarga, para Menteri Kabinet Pembangunan.

Laksamana R. Muljadi, Letjen Kartakusumah, Perwira-perwin Tinggi ABRI, Korps Diplomatik, Ormas dan Orpol, dan tidak ketinggalan para pemuda dan pelajar serta masyarakat. Upacara pemakaman ini berjalan dengan penuh khidmat dan mengharukan. Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Letjen Sarbini. Atas nama Pemerintah Letjen Sarbini menyerahkan kedua jasad Pahlawan ini kepada Ibu Pertiwi dan dengan diiringi doa semoga arwahnya dapat diberikan tempat yang layak sesuai dengan amal bhaktinya.

Dengan didahului tembakan salvo oleh pasukan khusus dari keempat angkatan, peti jenazah diturunkan dengan perlahan-lahan ke liang lahat. Suasana bertambah haru setelah diperdengarkan lagu Gugur Bunga.

Pengorbanan dan jasa yang disumbangkan oleh Usman dar Harun terhadap Negara dan Bangsa maka Pemerintah telah menaikkan pangkat mereka satu tingkat lebih tinggi yaitu Usmar alias Janatin bin Haji Muhammad Ali menjadi Sersan Anumerta KKO dan Harun alias Tohir bin Mandar menjadi Kopral Anumerta KKO. Sebagai penghargaan Pemerintah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Sakti dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional.


Surat Terakhir

Surat terakhir dari Osman bin Haji Mohammad Ali dari Singapura kepada orang tuanya saat-saat sebelum pelaksanaan pidana mati.

Salinan
In replying to this letter, please write on the envelope Number Cond, 215/65
Name : Osman bin H. Mhd. Ali. Changi Prison, 16 Oktober 1968.

Dihaturkan
Bunda ni Haji Mochamad Ali
Tawangsari.
Dengan ini anaknda kabarkan bahwa hingga sepeninggal surat ini tetap mendo'akan Bunda, Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Rodiijah + Tur dan keluarga semua para sepuh Lamongan dan Purbalingga Laren Bumiayu.

Berhubung tuduhan dinda yang bersangkutan dengan nasib dinda dalam rayuan memohon ampun kepada Pemerintah Republik Singapura tidak dapat dikabulkan maka perlu ananda menghaturkan berita duka kepangkuan Bunda dan keluarga semua di sini bahwa pelaksanaan hukuman mati ke atas ananda telah diputuskan pada 17 Oktober 1968 Hari Kamis Radjab 1388.

Sebab itu sangat besar harapan anaknda dalam menghaturkan sudjud di hadapan bunda, Mas Choenem, Mas Madun, Mas Chalim, Jur Rochajah, Ju Khodijah t Turijah para sepuh lainnya dari Purbolingga Laren Bumiayu Tawangsari dan Jatisaba sudi kiranya mengickhlaskan mohon ampun dan maaf atas semua kesalahan yang anaknda sengajaa maupun yang tidak anaknda sengaja.

Anaknda di sana tetap memohonkan keampunan dosa kesalahan Bunda saudara semua di sana dan mengihtiarkan sepenuh-penuhnya pengampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Anaknda harap dengan tersiarnya kabar yang menyedihkan ini tidak akan menyebabkan akibat yang tidak menyenangkan bahkan sebaliknya ikhlas dan bersukurlah sebanyak-banyaknya rasa karunia Tuhan yang telah menentukan nasib anaknda sedemikian mustinya.
Sekali lagi anaknda mohon ampun dan maaf atas kesalahan dan dosa anaknda kepangkuan Bunda Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Pualidi , Rodijah, Turiah dan keluarga Tawangsari Lamongan Jatisaba Purbolingga Laren Bumiayu.

Anaknda,
Ttd.
(Osman bin Hadji Ali)

Surat terakhir dari Harun bin Said dari Singapura kepada orang tuanya saat-saat sebelum pelaksanaan pidana mati.

Salinan
In replying to this letter, please write on the envelope Number Con. 216/65
Name: Harun Said Tohir Mahadar Changi Prison, 14 Oktober 1968.

Dihaturkan
Yang Mulia Ibundaku
Aswiani Binti Bang.
yang diingati siang dan malam.

Dengan segala hormat.

Ibundaku yang dikasihani surat ini berupa surat terakhir dari ananda Tohir. Ibunda sewaktu ananda menulis suat ini hanya tinggal beberapa waktu saja ananda dapat melihat dunia yang fana ini, pada tanggal 14 Oktober 196 rayuan ampun perkara ananda kepada Presiden Singapura telah ditolak jadi mulai dari hari ini Ananda hanya tinggal menunggu hukuman yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober 1968. Hukuman yang akan diterima oleh ananda adalah hukuman digantung sampai mati, di sini ananda harap kepada Ibunda supaya bersabar karena setiap kematian manusia adalah tidak siapa yang boleh menentukan satu-satunya yang menentukan ialah Tuhan Yang Maha Kuasa dan setiap manusia yang ada di dalam dunia ini tetap akan kembali kepada Illahi. Mohon Ibunda ampunilah segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan ananda selama ini sudilah Ibundaku menerima ampun dan salam sembah sujud dari ananda yang terakhir ini, tolong sampaikan salam kasih mesra ananda kepada seisi kaum keluarga ananda tutup surat ini dengan ucapan terima kasih dan Selamat Tinggal untuk selama-lamanya, amin.

Hormat ananda,
Ttd.
Harun Said Tohir Mahadar

Jangan dibalas lagi.

Alamat di sampul surat. Diaturkan kepangkuan
Ibunda Aswiani Binti Bang. Gang 60 no. 11 Tanjung Priok Jakarta — Indonesia.
Dari/Ananda Harun Said Tohir Mahad Cond, 216/65 Changi Prison S'pura 17